LAA ILAAHA ILLALLAH

LAA ILAAHA ILLALLAH

SEKAPUR SIRIH


ASSALAAMU'ALAIKUM WR. WB.
BISMILLAAHIR ROHMAANIR ROHIIM...

ALHAMDULILLAH, BLOG AL-ISLAM INI DIBUAT DENGAN TUJUAN UTAMANYA ADALAH DAKWAH ISLAMIAH SERTA MEMBERIKAN KEBEBASAN BEREKSPRESI DALAM BERAGAMA ISLAM BAGI PARA PEMELUKNYA DEMI TERCAPAINYA SUATU PEMAHAMAN YANG KOMPREHENSIF & MENDALAM TENTANG AGAMANYA MELALUI PRINSIP-PRINSIP SALING MENGHORMATI, SALING MENGINGATKAN SESAMA MUSLIM DENGAN BERLANDASKAN KEPADA TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA TANPA ADA NIAT SEDIKITPUN UNTUK MENDISKREDITKAN AGAMA-AGAMA LAIN DI LUAR AGAMA ISLAM.
(Pengasuh Blog)

MUTIARA ISLAM (1) :

MUTIARA ISLAM (2) :

MUTIARA ISLAM (3) :

DZIKIR KEPADA ALLAH

>> 14 Desember 2010

Para pengunjung situs yang dimuliakan Allah SWT, di dalam Alqur^an Allah SWT menghendaki kita untuk menjadi orang yang MUFARRIDUN, yakni orang yang selalu mengingat Allah SWT di manapun kita berada dan dalam keadaan apapun.

Allah berFirman di dalam Surat Al-Ahzab 41-42 : "Wahai orang-orang yang beriman, ingatlah kepada Allah dengan Dzikir yang sebanyak-banyaknya. Dan bertasbihlah kepadaNya setiap pagi dan petang."

Kemudian Rosululloh SAW juga bersabda di dalam Hadits sebagai berikut : "Maukah aku beritahukan kepada kalian amalan yang paling baik dan paling suci di mata Raja (=Allah) kalian, dan lebih baik daripada menginfakkan emas dan uang serta lebih baik daripada berperang di Jalan Allah ?" Yaitu : Dzikir kepada Allah SWT".

Lebih lanjut di dalam Hadits-hadits Rosululloh SAW diterangkan Bacaan-bacaan dan Faedah bacaan tersebut bagi kita sebagai manusia yang beriman, yakni diantaranya sebagai berikut :

1. Barang Siapa yang membaca : "Subhanallah, Walhamdulillah, Walaailaahaillallah, Wallahu Akbar", maka orang itu akan ditanamkan oleh Allah SWT pohon buah-buahan yang banyak di dalam Syurga.

2. Barang Siapa yang membaca : "Subhanallah Wabihamdih" sebanyak 100 kali, maka orang itu akan dihapuskan dosa-dosanya sebanyak buih yang ada di lautan.

3. Barang Siapa yang membaca : "Asyhadu An-Laailaahaillallah, Wahdahu Lasyariikalah Wa-asyhadu anna Muhammadan 'Abduhu Warosuuluh", maka orang itu akan dibukakan 8 Pintu Syurga, sehingga ia dapat masuk syurga dari pintu mana saja yang ia kehendaki.

4. Barang Siapa yang membaca : "Laa Haula Walaa Quwwata Illa Billah", maka orang itu dibukakan salah satu pintu Syurga untuknya.

5. Barang Siapa yang membaca : "Asyhadu An-Laailaahaillallah", maka orang itu diberikan Kunci Syurga oleh Allah SWT.

6. Barang Siapa yang membaca : "Laa Ilaaha Illallah Al-Malikul Haqqul Mubiin", maka orang itu apabila meninggal dunia ia tidak akan merasa seram di dalam kubur (=alam barzakh), sehingga ia aman dan sentosa di dalam kubur.

7. Barang Siapa yang membaca : Sayyidul Istighfar yaitu "Allahumma Anta Robbi Laailahailla Anta Kholaqtani Wa ana 'Abduka Wa ana 'Ala 'Ahdika Wawa'dika Mastatho'tu A'udzubika Min Syarrima Shona'tu Abu ulaka Bini'matika 'Alaiyya Wa abu-u Bidzambi Faghfirli Fainnahu Laa Yaghfirudz Dzunuba Illa Anta", maka :

a. Jika dibaca siang hari (sesudah Subuh), kemudian ia meninggal dunia sebelum Sore (sebelum 'Ashar), maka ia pasti akan termasuk "Ahli Syurga".

b. Jika dibaca malam hari (sesudah Maghrib), kemudian ia meninggal dunia sebelum pagi (sebelum Subuh), maka ia pasti akan termasuk "Ahli Syurga".

8. Barang Siapa yang membaca : "Alhamdulillah", akan dipenuhi timbangan Amal Solehnya.

9. Barang Siapa yang membaca : "Allahumma Sholli 'Ala Muhammad Wa 'Ala Aali Muhammad Wa 'Ala Ahli Baitihi" sebanyak 100 kali setiap hari, maka akan didatangkan/dikabulkan kepada orang itu sebanyak 70 hajat (maksud - niat - atau do'a mengenai hal-hal dunia) segera di dunia ini, dan di datangkan/dikabulkan kepada orang itu sebanyak 30 hajat (maksud - niat - atau do'a tentang akhirat) di akhirat kelak.

10. Barang Siapa yang membaca : Sholawat Nariyah sebanyak 11 kali setiap hari sesudah Sholat 'Ashar, maka akan dimurahkan, dilapangkan dan dilimpahkan Rezekinya di dunia ini dengan tiada putus-putusnya, serta diberikan Rezeki yang berlimpah pula di Akhirat kelak.

Read more...

PARLEMEN IBLIS

>> 03 Desember 2010

Di dalam sejarah kesusasteraan Islam, adalah seorang pujangga besar yang terkenal bernama DR. Muhammad Iqbal. Beliau melukiskan apa yang menjadi kekhawatirannya tentang suatu kondisi masyarakat dunia yang bernuansa jahiliyah (bodoh dan kelam) dengan goresannya yang berjudul "Parlemen Iblis".

Digambarkan dalam karangan sejenis prosa tersebut, bahwasannya Iblis beserta kolega-kolega dan para pembantunya sedang berkumpul dalam suatu majelis permusyawaratan. Mereka tengah membahas keadaan dunia, bahaya-bahaya yang mengancam serta keadaan-keadaan yang ditakutkan akan menghancurkan kerajaan Iblis dan eksistensi para syetan serta kepentingan-kepentingan mereka yang telah mereka tetapkan, putuskan dan jalankan selama ini.

Maka bersidanglah mereka dengan mengemukakan pendapat-pendapat dan hal-hal sebagai berikut :


Salah satu dari mereka berpendapat bahwa telah muncul bahaya dari ide-ide baru tentang demokrasi dan sistem pemerintahan republik.

Anggota yang lain angkat bicara : "Tidak usahlah khawatir dengan hal itu, karena itu cuma sekedar selimut tebal (kedok) dari sistem kerajaan (monarchi). Sebenarnya kita jugalah yang mendorong sistem kerajaan menjadi sistem republik, mengingat mulai munculnya kesadaran akan harga diri yang dapat mendorong manusia untuk berontak dari sistem yang telah kita paksakan selama ini. Tentu saja bila itu terjadi akan sangat berbahaya bagi kepemimpinan yang sedang berada di tangan kita. Oleh sebab itu, tipuan tersebut terpaksa kita lakukan melalui "demokrasi" dan "sistem republik" ! Sebenarnya hakikat monarchi tidak hanya sebatas pada seorang raja yang memegang kekuasaan penuh saja melainkan juga merupakan cara hidup (way of life) dimana penguasa (raja) menghisap rakyatnya dan memperbudak manusia atas manusia. Bukankah saudara tahu, bahwasannya sistem republik yang ada sekarang ini cuma luarnya saja, tetapi inti dalamnya adalah lebih kejam dan lebih kelam dari bathinnya seorang Zhengis Khan !"

Anggota yang lain lagi berpendapat : "Ketua Majelis Yth, Walaupun pemimpin-pemimpin dunia tersebut merupakan para eksekutifmu yang setia tetapi aku mulai tidak percaya pada kemampuan dan kecakapan mereka ! Sekarang ini saja si Samiri yang menganut agama Yahudi yang pada hakekatnya duplikat agama Mazdak (=Tokoh Sosialis Parsi yang terkenal) telah hampir meruntuhkan pondasi dunia bersama pengikut-pengikutnya yang telah melengserkan raja-raja dengan hujatan dan kepalan tangan mereka. Dulu kita memang menganggap enteng bahaya sosialisme ini, tetapi kenyataannya sekarang telah berkembang menjadi suatu ancaman yang besar bagi kita para syetan. Saya khawatir Ketua Majelis Yth, dunia yang selama ini Tuan perintah akan berbalik 180 derajat dari apa yang kita harapkan dan idam-idamkan !"

"Mendengar pembicaraan-pembicaraan dan opini-opini anggotanya ini maka Ketua Majelis (yakni Iblis) memberikan sambutannya : "Aku ini masih memegang kendali dunia dan masih dapat mengendalikannya menurut kehendakku ! Kalian akan tercengang bila aku berbisik ke telinga-telinga para pemimpin politik dunia itu maka mereka akan kehilangan kesadaran mereka sehingga mereka mau menuruti perintah-perintahku ! Adapun bahaya sosialisme yang kalian takutkan itu, Percayalah bahwa keretakan hubungan dan perselisihan antara manusia dengan manusia tak akan pernah bisa disembuhkan dengan resep "logika Mazdak" ataupun "filsafat Sosialisme". Aku sama sekali tidak takut dengan budak-budak sosialisme tersebut. Satu-satunya bahaya yang aku takutkan adalah bahaya dari umat yang selalu ruku' dan sujud kepada Allah SWT, yang badannya selalu jauh dari tempat tidur (karena jarang tidur nyenyak di malam hari) dan air matanya selalu mengalir di waktu fajar (subuh) karena takutnya kepada tuhannya dan rindunya untuk bertemu."

"Jadi, bagi kita bangsa syetan, jelas bahwa islamlah bahaya hari esok dan bukan sosialisme ! Saya juga tahu, bahwa Umat Islam saat ini banyak yang telah menyia-nyiakan Al-qur'an yang merupakan petunjuk bagi mereka. Mereka telah gila akan harta benda, mereka terlena hingga berlomba-lomba mengejar kemegahan dan kekayaan dunia. Fikiran dan faham seperti itu telah berkembang di tengah-tengah sebagian kelompok para cendikiawan muslim itu sendiri dalam bentuk "Sekularisme" atau Faham yang memisahkan antara agama dengan negara dengan dalih bahwa agama adalah soal pribadi yang tak ada kaitannya dengan masyarakat apalagi dengan bangsa dan negara. Agama itu kini hampir tinggal keyakinan, ibadah dan budi pekerti semata yang tak ada sangkut-pautnya dengan politik dan pemerintahan. Saya tahu itu semua !"

"Namun demikian saya tetap khawatir bila suatu saat nanti umat ini akan mengoyak-ngoyak zaman keemasan kita dan membangunkan manusia dari keterlelapannya untuk kembali kepada Agama Islam yang sebenar-benarnya sebagaimana yang dibawa oleh Muhammad. Sebagai Ketua Majelis, saya ingatkan agar semua anggota parlemen yang terhormat ini berhati-hati dan waspada terhadap umat dan agama Muhammad ini. Revolusi manakah yang dapat menandingi revolusi Islam, dan pemberontakan manakah yang lebih dahsyat dari dicetuskannya Ideologi Islam, baik dalam bentuk pikiran dan perbuatan. Oleh Karena itu, berjuanglah anggota majelis Yth sekuat tenagamu agar ajaran Islam itu tetap terselubung dari mata dan hati manusia."

"Bergembiralah Saudara-saudaraku ! Bahwa kenyataannya, saat ini Umat Islam sebagian besar masih lemah-lemah imannya, masih bodoh-bodoh, dan masih bisa diadu domba. Nina bobokanlah kaum muslimin ini agar mereka tetap tidur nyenyak. Awas! Jangan sampai mereka sempat terbangun, karena bila sampai terbangun maka seluruh mantera-mantera, jimat-jimat dan sihir-sihir kita akan dapat dilumpuhkan bahkan dihancurkan dengan kalimat-kalimat : Tasbih, Tahmid, Tahlil dan Takbir mereka yang amat sakti itu !"

"Lalaikanlah mereka Wahai Majelis Yth ! dari mengerjakan perbuatan-perbuatan yang bermanfaat agar mereka tidak memperoleh Wibawa Besar untuk memimpin dunia. Adalah suatu keuntungan besar buat kita para syetan bila Umat Islam tidak memegang tampuk pimpinan dan kekuasaan di dunia sehingga mereka rela meninggalkan atau menyerahkannya kepada umat lain selain Umat Islam."

"Dan bisikanlah terus mereka agar menganggap bahwa kehidupan ini tidak bermanfaat sama sekali selain hanya ibadah ritual saja. Celakalah dan Binasalah kita semua kaum syetan seandainya Umat Muhammad ini sempat terbangun untuk mengontrol dan mengawasi serta mengamati perilaku kehidupan dunia serta perkembangannya. Begitulah Saudara-saudaraku !"

Kemudian Iblis Sang Ketua Majelis bertanya : "Bagaimana pendapatku dan usul-usulku yang telah aku kemukakan tadi saudara-saudaraku Para Anggota Majelis Yth ?"

Maka serentak Para Anggota Majelis menjawab : "Setuju! Setuju!! Setuju!!!"

"Baiklah kalau begitu..., terimakasih atas dukungan, kepercayaan dan kesepakatan suara dari saudara-saudara Anggota Majelis Yth", kata Iblis.

Akhirnya Iblis Sang Ketua Majelis menutup Sidang : "Dengan ini saya nyatakan bahwa Sidang Majelis Syetan saya tutup !" Tok! tok!, suara palu sidang diketok sebanyak 2 kali... Lantas diikuti dengan Tepuk tangan dan Sorak sorai Anggota Parlemen sambil mereka meriakkan Yel-yel : "Hidup Iblis ! Hidup Iblis !! Viva Iblis dari dahulu hingga Kiamaaaaat....!!!"

This Story was Retold by : M. Shobrie H.W., SE CPTr CPHR.

Read more...

BERIMAN KEPADA TAKDIR BAIK & BURUK

>> 02 Juni 2010

Banyak orang mengenal rukun iman tanpa mengetahui makna dan hikmah yang terkandung dalam keenam rukun iman tersebut. Salah satunya adalah iman kepada takdir. Tidak semua orang yang mengenal iman kepada takdir, mengetahui hikmah dibalik beriman kepada takdir dan bagaimana mengimani takdir. Berikut sedikit ulasan mengenai iman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk.



Takdir (qadar) adalah perkara yang telah diketahui dan ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan telah dituliskan oleh al-qalam (pena) dari segala sesuatu yang akan terjadi hingga akhir zaman. (Terj. Al Wajiiz fii ‘Aqidatis Salafish Shalih Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 95)

Allah telah menentukan segala perkara untuk makhluk-Nya sesuai dengan ilmu-Nya yang terdahulu (azali) dan ditentukan oleh hikmah-Nya. Tidak ada sesuatupun yang terjadi melainkan atas kehendak-Nya dan tidak ada sesuatupun yang keluar dari kehendak-Nya. Maka, semua yang terjadi dalam kehidupan seorang hamba adalah berasal dari ilmu, kekuasaan dan kehendak Allah, namun tidak terlepas dari kehendak dan usaha hamba-Nya.



Allah Ta’ala berfirman :



“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Qs. Al-Qamar: 49)

“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (Qs. Al-Furqan: 2)



“Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.” (Qs. Al-Hijr: 21)



Mengimani takdir baik dan takdir buruk, merupakan salah satu rukun iman dan prinsip ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Tidak akan sempurna keimanan seseorang sehingga dia beriman kepada takdir, yaitu dia mengikrarkan dan meyakini dengan keyakinan yang dalam bahwa segala sesuatu berlaku atas ketentuan (qadha’) dan takdir (qadar) Allah.



Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :



“Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga dia beriman kepada qadar baik dan buruknya dari Allah, dan hingga yakin bahwa apa yang menimpanya tidak akan luput darinya, serta apa yang luput darinya tidak akan menimpanya.” (Shahih, riwayat Tirmidzi dalam Sunan-nya (IV/451) dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dan diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya (no. 6985) dari ‘Abdullah bin ‘Amr. Syaikh Ahmad Syakir berkata: ‘Sanad hadits ini shahih.’Lihat juga Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah (no. 2439), karya Syaikh Albani rahimahullah)



Jibril ‘alaihis salam pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai iman, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :



“Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir serta qadha’ dan qadar, yang baik maupun yang buruk.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya di kitab al-Iman wal Islam wal Ihsan (VIII/1, IX/5))



Dan Shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma juga pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :



“Segala sesuatu telah ditakdirkan, sampai-sampai kelemahan dan kepintaran.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya (IV/2045), Tirmidzi dalam Sunan-nya (IV/452), Ibnu Majah dalam Sunan-nya (I/32), dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (I/23))



Tingkatan Takdir


Beriman kepada takdir tidak akan sempurna kecuali dengan empat perkara yang disebut tingkatan takdir atau rukun-rukun takdir. Keempat perkara ini adalah pengantar untuk memahami masalah takdir. Barang siapa yang mengaku beriman kepada takdir, maka dia harus merealisasikan semua rukun-rukunnya, karena yang sebagian akan bertalian dengan sebagian yang lain. Barang siapa yang mengakui semuanya, baik dengan lisan, keyakinan dan amal perbuatan, maka keimanannya kepada takdir telah sempurna. Namun, barang siapa yang mengurangi salah satunya atau lebih, maka keimanannya kepada takdir telah rusak.



Tingkatan Pertama: al-’Ilmu (Ilmu)


Yaitu, beriman bahwa Allah mengetahui dengan ilmu-Nya yang azali mengenai apa-apa yang telah terjadi, yang akan terjadi, dan apa yang tidak terjadi, baik secara global maupun terperinci, di seluruh penjuru langit dan bumi serta di antara keduanya. Allah Maha Mengetahui semua yang diperbuat makhluk-Nya sebelum mereka diciptakan, mengetahui rizki, ajal, amal, gerak, dan diam mereka, serta mengetahui siapa di antara mereka yang sengsara dan bahagia.



Allah Ta’ala telah berfirman :



“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (Qs. Al-Hajj: 70)



“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua perkara yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia Maha Mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tidak ada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak juga sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan telah tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Qs. Al-An’aam: 59)



“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu.” (Qs. At-Taubah: 115)



Tingkatan Kedua: al-Kitaabah (Penulisan)


Yaitu, mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menuliskan apa yang telah diketahui-Nya berupa ketentuan-ketentuan seluruh makhluk hidup di dalam al-Lauhul Mahfuzh. Suatu kitab yang tidak meninggalkan sedikit pun di dalamnya, semua yang terjadi, apa yang akan terjadi, dan segala yang telah terjadi hingga hari Kiamat, ditulis di sisi Allah Ta’ala dalam Ummul Kitab.



Allah Ta’ala berfirman :



“Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Qs. Yaasiin: 12)

“Tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.” (Qs. Al-Hadiid: 22)



Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :



“Allah telah menulis seluruh takdir seluruh makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.”(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya, kitab al-Qadar (no. 2653), dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma, diriwayatkan pula oleh Tirmidzi (no. 2156), Imam Ahmad (II/169), Abu Dawud ath-Thayalisi (no. 557))



Dalam sabdanya yang lain :



“Yang pertama kali Allah ciptakan adalah al-qalam (pena), lalu Allah berfirman, ‘Tulislah!’ Ia bertanya, ‘Wahai Rabb-ku apa yang harus aku tulis?’ Allah berfirman, ‘Tulislah takdir segala sesuatu sampai terjadinya Kiamat.’” (Shahih, riwayat Abu Dawud (no. 4700), dalam Shahiih Abu Dawud (no. 3933), Tirmidzi (no. 2155, 3319), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (no. 102), al-Ajurry dalam ­asy-Syari’ah (no.180), Ahmad (V/317), dari Shahabat ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu)



Oleh karena itu, apa yang telah ditakdirkan menimpa manusia tidak akan meleset darinya, dan apa yang ditakdirkan tidak akan mengenainya, maka tidak akan mengenainya, sekalipun seluruh manusia dan golongan jin mencoba mencelakainya.



Tingkatan Ketiga: al-Iraadah dan Al Masyii-ah (Keinginan dan Kehendak)


Yaitu, bahwa segala sesuatu yang terjadi di langit dan di bumi adalah sesuai dengan keinginan dan kehendak (iraadah dan masyii-ah) Allah yang berputar di antara rahmat dan hikmah. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan rahmat-Nya, dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dengan hikmah-Nya. Dia tidak boleh ditanya mengenai apa yang diperbuat-Nya karena kesempurnaan hikmah dan kekuasaan-Nya, tetapi kita, sebagai makhluk-Nya yang akan ditanya tentang apa yang terjadi pada kita, sesuai dengan firman-Nya :



“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai.” (Qs. Al-Anbiyaa’: 23)



Kehendak Allah itu pasti terlaksana, juga kekuasaan-Nya sempurna meliputi segala sesuatu. Apa yang Allah kehendaki pasti akan terjadi, meskipun manusia berupaya untuk menghindarinya, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya, maka tidak akan terjadi, meskipun seluruh makhluk berupaya untuk mewujudkannya.



Allah Ta’ala berfirman :



“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia akan melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit.” (Qs. Al-An’aam: 125)



“Dan kamu tidak dapat menhendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (Qs. At-Takwir: 29)



Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :



“Sesungguhnya hati-hati manusia seluruhnya di antara dua jari dari jari jemari Ar-Rahmaan seperti satu hati; Dia memalingkannya kemana saja yang dikehendaki-Nya.”(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya (no. 2654). Lihat juga Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah (no. 1689))



Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Para Imam Salaf dari kalangan umat Islam telah ijma’ (sepakat) bahwa wajib beriman kepada qadha’ dan qadar Allah yang baik maupun yang buruk, yang manis maupun yang pahit, yang sedikit maupun yang banyak. Tidak ada sesuatu pun terjadi kecuali atas kehendak Allah dan tidak terwujud segala kebaikan dan keburukan kecuali atas kehendak-Nya. Dia menciptakan siapa saja dalam keadaan sejahtera (baca: menjadi penghuni surga) dan ini merupakan anugrah yang Allah berikan kepadanya dan menjadikan siapa saja yang Dia kehendaki dalam keadaan sengsara (baca: menjadi penghuni neraka). Ini merupakan keadilan dari-Nya serta hak absolut-Nya dan ini merupakan ilmu yang disembunyikan-Nya dari seluruh makhluk-Nya.” (al-Iqtishaad fil I’tiqaad, hal. 15)



Tingkatan Keempat: al-Khalq (Penciptaan)


Yaitu, bahwa Allah adalah Pencipta (Khaliq) segala sesuatu yang tidak ada pencipta selain-Nya, dan tidak ada rabb selain-Nya, dan segala sesuatu selain Allah adalah makhluk.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala :



”Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (Qs. Az-Zumar: 62)



Meskipun Allah telah menentukan takdir atas seluruh hamba-Nya, bukan berarti bahwa hamba-Nya dibolehkan untuk meninggalkan usaha. Karena Allah telah memberikan qudrah (kemampuan) dan masyii-ah (keinginan) kepada hamba-hamba-Nya untuk mengusahakan takdirnya. Allah juga memberikan akal kepada manusia, sebagai tanda kesempurnaan manusia dibandingkan dengan makhluk-Nya yang lain, agar manusia dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan. Allah tidak menghisab hamba-Nya kecuali terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukannya dengan kehendak dan usahanya sendiri. Manusialah yang benar-benar melakukan suatu amal perbuatan, yang baik dan yang buruk tanpa paksaan, sedangkan Allah-lah yang menciptakan perbuatan tersebut.


Hal ini berdasarkan firman-Nya :



“Padahal Allah-lah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Qs. Ash-Shaaffaat: 96)



Dan Allah Ta’ala juga berfirman, yang artinya :



“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” (Qs. Al-Baqarah: 286)



Hikmah Beriman Kepada Takdir


Beriman kepada takdir akan mengantarkan kita kepada sebuah hikmah penciptaan yang mendalam, yaitu bahwasanya segala sesuatu telah ditentukan. Sesuatu tidak akan menimpa kita kecuali telah Allah tentukan kejadiannya, demikian pula sebaliknya. Apabila kita telah faham dengan hikmah penciptaan ini, maka kita akan mengetahui dengan keyakinan yang dalam bahwa segala sesuatu yang datang dalam kehidupan kita tidak lain merupakan ketentuan Allah atas diri kita. Sehingga ketika musibah datang menerpa perjalanan hidup kita, kita akan lebih bijak dalam memandang dan menyikapinya. Demikian pula ketika kita mendapat giliran memperoleh kebahagiaan, kita tidak akan lupa untuk mensyukuri nikmat Allah yang tiada henti.



Manusia memiliki keinginan dan kehendak, tetapi keinginan dan kehendaknya mengikuti keinginan dan kehendak Rabbnya. Golongan Ahlus Sunnah menetapkan dan meyakini bahwa segala yang telah ditentukan, ditetapkan dan diperbuat oleh Allah memiliki hikmah dan segala usaha yang dilakukan manusia akan membawa hasil atas kehendak Allah.



Ingatlah saudariku, tidak setiap hal akan berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan, maka hendaklah kita menyerahkan semuanya dan beriman kepada apa yang telah Allah tentukan. Jangan sampai hati kita menjadi goncang karena sedikit ’sentilan’, sehingga muncullah bisikan-bisikan dan pikiran-pikiran yang akan mengurangi nikmat iman kita.


Dengarlah sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam :



“Berusahalah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan Allah dan janganlah sampai kamu lemah (semangat). Jika sesuatu menimpamu, janganlah engkau berkata ’seandainya aku melakukan ini dan itu, niscaya akan begini dan begitu.’ Akan tetapi katakanlah ‘Qodarullah wa maa-syaa-a fa’ala (Allah telah mentakdirkan segalanya dan apa yang dikehendaki-Nya pasti dilakukan-Nya).’ Karena sesungguhnya (kata) ’seandainya’ itu akan mengawali perbuatan syaithan.”(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya (no. 2664))



Tidak ada seorang pun yang dapat bertindak untuk merubah apa yang telah Allah tetapkan untuknya. Maka tidak ada seorang pun juga yang dapat mengurangi sesuatu dari ketentuan-Nya, juga tidak bisa menambahnya, untuk selamanya. Ini adalah perkara yang telah ditetapkan-Nya dan telah selesai penentuannya. Pena telah terangkat dan lembaran telah kering.



Berdalih dengan takdir diperbolehkan ketika mendapati musibah dan cobaan, namun jangan sekali-kali berdalih dengan takdir dalam hal perbuatan dosa dan kesalahan. Setiap manusia tidak boleh memasrahkan diri kepada takdir tanpa melakukan usaha apa pun, karena hal ini akan menyelisihi sunnatullah. Oleh karena itu berusahalah semampunya, kemudian bertawakkallah.



Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya :


“Dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al-Anfaal: 61)



“Barang siapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupi (keperluan)nya.” (Qs. Ath-Thalaq: 3)



Dan jika kita mendapatkan musibah atau cobaan, janganlah berputus asa dari rahmat Allah dan janganlah bersungut-sungut, tetapi bersabarlah. Karena sabar adalah perisai seorang mukmin yang dia bersaudara kandung dengan kemenangan. Ingatlah bahwa musibah atau cobaan yang menimpa kita hanyalah musibah kecil, karena musibah dan cobaan terbesar adalah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disebutkan dalam sabdanya :



“Jika salah seorang diantara kalian tertimpa musibah, maka ingatlah musibah yang menimpaku, sungguh ia merupakan musibah yang paling besar.”(Shahih li ghairih, riwayat Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqat (II/375), Ad-Darimi (I/40))



Apabila hati kita telah yakin dengan setiap ketentuan Allah, maka segala urusan akan menjadi lebih ringan, dan tidak akan ada kegundahan maupun kegelisahan yang muncul dalam diri kita, sehingga kita akan lebih semangat lagi dalam melakukan segala urusan tanpa merasa khawatir mengenai apa yang akan terjadi kemudian. Karena kita akan menggenggam tawakkal sebagai perbekalan ketika menjalani urusan dan kita akan menghunus kesabaran kala ujian datang menghadang.



Wallahu Ta’ala a’lam wal musta’an.



Penulis: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly
Muraja’ah: Ust. Aris Munandar


Read more...

MENUMBUHKAN SIFAT TAWADHU'

Makin berisi makin merunduk. Begitulah peribahasa 'ilmu padi' yang sering kita dengar. Dalam syari'at Islam yang mulia pun diajarkan hal yang serupa, sifat dan sikap tawadhu'.

Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan pujian bagi orang-orang yang tawadhu’ dan mengancam orang yang sombong. Tidak ada keutamaan seseorang terhadap yang lain kecuali nilai takwanya.


Alloh subhanahu wata'ala berfirman: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Alloh ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Alloh Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. al-Hujurot [49]: 13)


Maka yang menjadi ukuran adalah ketakwaan, bukan banyaknya harta, tingginya pangkat atau kemuliaan nasab. Takwa adalah barometer dalam segala perkara. Tidak akan bermanfaat harta, pangkat dan keturunan kecuali diiringi dengan takwa. Salah satu perangai ketakwaan yang dianjurkan dalam agama adalah sifat tawadhu’.


Definisi Tawadhu’


Tawadhu’ secara bahasa bermakna rendah terhadap sesuatu. Sedangkan secara istilah adalah menampakkan perendahan hati kepada sesuatu yang diagungkan. Ada juga yang mengatakan tawadhu’ adalah mengagungkan orang karena keutamaannya. Tawadhu’ adalah menerima kebenaran dan tidak menentang hukum.


Tidak ada yang mengingkari, tawadhu’ adalah akhlak yang mulia. Yang menjadi pertanyaan, kepada siapa kita merendahkan hati. Alloh menyifati hamba yang dicintai-Nya dalam firman-Nya;


“Yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir.” (QS. al-Maidah [5]: 54).


Syarat Tawadhu’

Tawadhu’ adalah akhlak yang agung dan ia tidak sah kecuali dengan dua syarat;


Pertama: Ikhlas karena Alloh semata.

Rosululloh shollallohu alaihi wassalam bersabda;
“Tidaklah seseorang tawadhu’ karena Alloh, kecuali Alloh akan angkat derajatnya.” (HR. Muslim: 2588)


Kedua: Kemampuan

Rosululloh shollallohu alaihi wassalam bersabda: “Barangsiapa yang meninggalkan pakaian karena tawadhu’ kepada Alloh padahal dia mampu, maka Alloh akan memanggilnya pada hari kiamat di hadapan seluruh makhluk hingga Alloh memberinya pilihan dari perhiasan penduduk surga, ia bisa memakainya sekehendaknya.”


Keutamaan Tawadhu’

Tidaklah sifat yang terpuji melainkan menyimpan keutamaan. Ini adalah sebagai pendorong bagi kita agar segera berhias dengan sifat tersebut.


Di antara keutamaan sifat tawadhu’ adalah;


1. Menjalankan perintah Alloh subhanahu wata'ala


Alloh berfirman: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. (QS. asy-Syu’aro [26]: 215)


Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: “Maksudnya adalah tawadhu’, karena orang yang sombong melihat dirinya bagaikan burung yang terbang di angkasa, maka Alloh memerintahkan untuk merendahkan sayapnya dan merendahkan diri terhadap orang-orang beriman yang mengikuti Nabi.”


2. Alloh membenci orang yang sombong


Alloh berfirman: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman [31]: 18)


Sahabat mulia Ibnu Abbas rodhliyallohu anhu berkata: “Yaitu janganlah kamu sombong, sehingga membawa kalian merendahkan hamba Alloh dan berpaling dari mereka jika mereka berbicara kepadamu.”


3. Perangai hamba yang terpuji


Alloh berfirman:
“Dan hamba-hamba Alloh yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS. al-Furqon [25]: 63)


Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh mengatakan: “Firman Alloh berjalan di atas bumi dengan rendah hati yaitu mereka berjalan dengan tenang, penuh dengan ketawadhu’an, tidak congkak dan sombong.”


4. Jalan menuju surga


Alloh berfirman:
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Qoshos [28]: 83)


5. Mengangkat derajat seorang hamba


Selayaknya bagi setiap muslim untuk berhias diri dengan sifat tawadhu’ karena dengan tawadhu’ tersebut Alloh akan meninggikan derajatnya.


Rosululloh shollallohu alaihi wassalam bersabda; “Tidaklah seseorang tawadhu’ karena Alloh, kecuali Alloh mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim:2588)

Imam an-Nawawi rohimahulloh berkata: “Hadits ini mempunyai dua makna:

Pertama: Alloh akan meninggikan derajatnya di dunia, dan mengokohkan sifat tawadhu’nya dalam hati hingga Alloh mengangkat derajatnya di mata manusia.

Kedua: Pahala di akhirat, yakni Alloh akan mengangkat derajatnya di akhirat disebabkan tawadhu’nya di dunia.


6. Mendatangkan rasa cinta, persaudaraan dan menghilangkan kebencian


Rosululloh shollallohu alaihi wassalam bersabda: “Sesungguhnya Alloh mewahyukan kepadaku agar kalian tawadhu’, hingga tidak ada seorang pun yang membanggakan dirinya atas orang lain dan tidak ada lagi orang yang menyakiti atas yang lain.” (HR. Muslim: 2865)


Macam-macam Tawadhu’


Pertama: Tawadhu’ yang terpuji


Yaitu tawadhu’nya seorang hamba ketika melaksanakan perintah Alloh dan meninggalkan larangan-Nya. Karena jiwa ini secara tabiat akan mencari kesenangan dan rasa lapang serta tidak ingin terbebani sehingga akan menimbulkan keinginan lari dari peribadatan dan tetap dalam kesenangannya. Maka apabila seorang hamba mampu menundukan dirinya dengan melaksanakan perintah Alloh dan menjauhi larangan-Nya, sungguh ia telah tawadhu’ dalam peribadatan.


Kedua: Tawadhu’ yang tercela


Yaitu tawadhu’nya seseorang kepada orang yang mempunyai pangkat dunia karena berharap mendapat bagian dunia darinya.


Orang yang memiliki akal sehat dan selamat tentunya ia akan berusaha meninggalkan tawadhu’ tercela ini dan akan berusaha berhias dengan sifat tawadhu’ yang terpuji.


Tingkatan Tawadhu’


Pertama: Tawadhu’ di dalam agama


Yaitu patuh dan mengerjakan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shollallohu alaihi wassalam secara pasrah, tunduk dan taat. Hal itu tidak bisa terwujud kecuali dengan tiga perkara;


a. Tidak mempertentangkan ajaran yang dibawa oleh Nabi shollallohu alaihi wassalam dengan akal, analogi, perasaan, atau siasat.


b. Tidak menuduh bahwa dalil-dalil dalam agama ini adalah cacat dan jelek serta berprasangka bahwa dalil-dalil agama ada yang kurang, atau yang lainnya lebih utama. Barangsiapa yang terlintas dalam pikirannya hal seperti ini, maka salahkanlah pemahamannya.


c. Tidak menyelisihi nash dan dalil yang telah tetap.


Kedua: Menerima kebenaran dari orang yang dicintai atau yang dibenci


Tidak termasuk sikap tawadhu’ adalah menolak kebenaran dikarenakan ia berasal dari musuh.


Ketiga: Menjunjung al-haq


Yaitu menjadikan al-haq dan perintah sebagai dasar perbuatan dan menjalankan ibadah kepada Alloh semata-mata karena perintah dari Alloh dan bukan karena kebiasaan atau hawa nafsu.


Tawadhu’ Dan Menghinakan Diri


Kita sering mendengar istilah tawadhu’ dan menghinakan diri. Keduanya sangat berbeda. Sifat tawadhu’ muncul karena atas dasar ilmu dan pengetahuannya kepada Alloh dan karena pengagungan dan kecintaan kepadaNya serta kesadaran mengintropeksi terhadap aib pribadi.


Semua hal tersebut melahirkan sifat tawadhu’ dalam dirinya. Hatinya tunduk kepada Alloh, patuh dan berserah diri serta mempunyai sifat kasih sayang kepada manusia. Ia melihat tidak mempunyai keutamaan atas orang lain dan tidak merasa benar sendiri atas orang lain. Akhlak semacam ini hanyalah pemberian Alloh kepada hamba-Nya yang dicintai dan yang dimuliakan serta dekat kepadaNya.


Adapun menghinakan diri adalah merendahkan dan menghinakan dirinya kepada orang lain untuk meraih bagian dan kelezatan syahwatnya. Seperti perendahan diri karyawan karena ingin mendapat sesuatu yang diinginkan dari atasannya, kepatuhan orang yang diajak maksiat kepada orang yang mengajaknya, atau kepatuhan orang yang ingin meraih bagian dunia kepada orang yang ia harapkan.


Semua ini adalah bentuk penghinaan diri dan bukan tawadhu’. Alloh hanya mencintai orang-orang yang tawadhu’ dan membenci perendahan dan penghinaan diri.


Imam Ahmad bin Abdurrohman al-Maqdisi rohimahulloh mengatakan: “Sikap pertengahan adalah dengan tawadhu’ tanpa merendahkan diri, dan ini adalah terpuji. Sikap tawadhu’ yang terpuji adalah dengan berbuat adil, yaitu memberikan kepada setiap orang yang mempunyai kedudukan haknya.”


Kiat Menggapai Tawadhu’


1. Berfikirlah dari apa kita diciptakan


Jika seorang muslim bisa mengukur diri, dan menyadari siapa dirinya, dia akan menilai bahwa dirinya adalah insan yang rendah dan hina. Karena manusia bila dilihat dari asal penciptaan berasal dari setetes mani yang keluar dari saluran air kencing, kemudian menjadi segumpal darah, segumpal daging dan akhirnya menjadi seorang insan.


Berawal dari tidak bisa mendengar, tidak melihat dan lemah kemudian menjadi insan yang sempurna penciptaannya.


Alloh berfirman: “Dari apakah Alloh menciptakannya? dari setetes mani, Alloh menciptakannya lalu menentukannya. kemudian Dia memudahkan jalannya.” (QS. ’Abasa [80]: 18-20)


Alloh juga berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan ia mendengar dan melihat.” (QS. al-Insan [76]: 2)


Apabila kondisi manusia seperti ini, mengapa ia sombong dan tidak tawadhu’?!
Imam Ibnu Hibban mengatakan: “Bagaimana mungkin seseorang tidak tawadhu’ padahal ia diciptakan dari setetes mani yang hina dan akhir hidupnya ia akan kembali menjadi bangkai yang menjijikkan serta kehidupannya di dunia ia membawa kotoran?”


2. Kenalilah diri Anda


Alloh berfirman: “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi inidengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (QS. al-Isro’ [17]: 37)


Syaikh Muhammad Amin as-Syinqithi berkata: “Wahai orang yang sombong, engkau adalah orang yang lemah, hina dan terbatas di dunia ini. Bumi yang engkau berpijak di atasnya, engkau tidak bisa berbuat apapun walaupun engkau injak dengan sekuat tenaga. Jangan angkuh, jangan berjalan di muka bumi ini dengan sombong.”



Oleh: Ustadz Abu Abdillah Syahrul Fatwa

Read more...

Kisah Nyata Seorang Pemuda Arab

>> 23 Februari 2010

Ada seorang pemuda arab yang baru saja menyelesaikan bangku kuliahnya di Amerika. Pemuda ini adalah salah seorang yang diberi nikmat oleh Allah berupa pendidikan agama Islam bahkan ia mampu mendalaminya.

Selain belajar, ia juga seorang juru dakwah Islam. Suatu ketika berada di Amerika, ia berkenalan dengan salah seorang Nasrani. Hubungan mereka semakin akrab, dengan harapan semoga Allah SWT memberinya hidayah masuk Islam.

Pada suatu hari mereka berdua berjalan-jalan di sebuah perkampungan di Amerika dan melintas di dekat sebuah gereja yang terdapat di kampung tersebut. Temannya itu meminta agar ia turut masuk ke dalam gereja. Semula ia berkeberatan. Namun karena ia terus mendesak akhirnya pemuda itupun memenuhi permintaannya lalu ikut masuk ke dalam gereja dan duduk di salah satu bangku dengan hening, sebagaimana kebiasaan mereka.

Ketika pendeta masuk, mereka serentak berdiri untuk memberikan penghormatan lantas kembali duduk.. Tepat saat itu si pendeta terbelalak matanya ketika melihat ke para hadirin dan berkata, "Di tengah kita ada seorang muslim. Aku harap ia keluar dari sini". Pemuda arab itu tidak bergeming dari tempatnya. Pendeta tersebut mengucapkan perkataan itu berkali-kali, namun ia tetap tidak bergeming dari tempatnya. Hingga akhirnya pendeta itu berkata, "Aku minta ia keluar dari sini dan aku menjamin keselamatannya". Barulah pemuda ini beranjak keluar.

Di ambang pintu ia bertanya kepada sang Pendeta, "Bagaimana anda tahu bahwa saya seorang muslim." Pendeta itu menjawab, "Dari tanda yang terdapat di wajahmu." Kemudian ia beranjak hendak keluar. Namun sang pendeta ingin memanfaatkan keberadaan pemuda ini, yaitu dengan mengajukan beberapa pertanyaan, dengan tujuan untuk memojokkan pemuda tersebut dan sekaligus untuk mengokohkan markasnya.

Pemuda muslim itupun menerima tantangan debat tersebut. Sang pendeta berkata, "Aku akan mengajukan kepada anda 22 pertanyaan dan anda harus menjawabnya dengan tepat". Si pemuda tersenyum dan berkata, "Silahkan !".

Sang pendetapun mulai bertanya :

1. Sebutkan satu yang tiada duanya,

2. Dua yang tiada tiganya,

3. Tiga yang tiada empatnya,

4. Empat yang tiada limanya,

5. Lima yang tiada enamnya,

6. Enam yang tiada tujuhnya,

7. Tujuh yang tiada delapannya,

8. Delapan yang tiada sembilannya,

9. Sembilan yang tiada sepuluhnya,

10. Sesuatu yang tidak lebih dari sepuluh,

11. Sebelas yang tiada dua belasnya,

12. Ddua belas yang tiada tiga belasnya,

13. Ttiga belas yang tiada empat belasnya.

14. Sebutkan sesuatu yang dapat bernafas namun tidak mempunyai ruh !

15. Apa yang dimaksud dengan kuburan berjalan membawa isinya ?

16. Siapakah yang berdusta namun masuk ke dalam surga ?

17. Sebutkan sesuatu yang diciptakan Allah namun Dia tidak menyukainya ?

18. Sebutkan sesuatu yang diciptakan Allah tanpa ayah dan ibu !

19. Siapakah yang tercipta dari api, siapakah yang diadzab dengan api dan siapakah yang terpelihara dari api ?

20. Siapakah yang tercipta dari batu, siapakah yg diadzab dengan batu dan siapakah yang terpelihara dari batu ?

21. Sebutkan sesuatu yang diciptakan Allah dan dianggap besar !

22. Pohon apakah yang mempunyai 12 ranting, setiap ranting mempunyai 30 daun, setiap daun mempunyai 5 buah, 3 di bawah naungan dan 2 di bawah sinaran matahari ?"

Mendengar pertanyaan-pertanyaan tersebut pemuda itu tersenyum dengan senyuman mengandung keyakinan kepada Allah.

Setelah membaca basmalah iapun menjawab sebagai berikut :

1. Satu yang tiada duanya ialah Allah SWT.

2. Dua yang tiada tiganya ialah malam dan siang. Allah SWT berfirman : "...Dan Kami jadikan malam dan siang sebagai dua tanda (kebesaran Kami)." (Al-Isra': 12).

3. Tiga yang tiada empatnya adalah kekhilafan yang dilakukan Nabi Musa ketika Khidir menenggelamkan sampan, membunuh seorang anak kecil dan ketika menegakkan kembali dinding yang hampir roboh.

4. Empat yang tiada limanya adalah Taurat, Injil, Zabur dan Al-Qur'an.

5. Lima yang tiada enamnya ialah Shalat lima waktu.

6. Enam yang tiada tujuhnya ialah jumlah hari ke-tika Allah SWT menciptakan makhluk.

7. Tujuh yang tiada delapannya ialah langit yang tujuh lapis. Allah SWT berfirman : "...Yang telah menciptakan tujuh langit berlapis-lapis. Kamu sekali-kali tidak melihat pada ciptaan Rabb Yang Maha Pemurah sesuatu yang tidak seimbang." (Al-Mulk: 3).

8. Delapan yang tiada sembilannya ialah malaikat pemikul Arsy ar-Rahman. Allah SWT berfirman : "...Dan malaikat-malaikat berada di penjuru-penjuru langit. Dan pada hari itu delapan malaikat menjunjung 'Arsy Rabbmu di atas (kepala) mereka." (Al-Haqah: 17).

9. Sembilan yang tiada sepuluhnya adalah mu'jizat yang diberikan kepada Nabi Musa : tongkat, tangan yang bercahaya, angin topan, musim paceklik, katak, darah, kutu, belalang dan *******

10. Sesuatu yang tidak lebih dari sepuluh ialah kebaikan. Allah SWT berfirman, "Barangsiapa yang berbuat kebaikan maka untuknya sepuluh kali lipat." (Al-An'am: 160).

11. Sebelas yang tiada dua belasnya ialah jumlah Saudara-saudara Yusuf

12. Dua belas yang tiada tiga belasnya ialah mu'jizat Nabi Musa yang terdapat dalam firman Allah : "...Dan (ingatlah) ketika Musa memohon air untuk kaumnya, lalu Kami berfirman : "Pukullah batu itu dengan tongkatmu." Lalu memancarlah daripadanya dua belas mata air." (Al-Baqarah: 60).

13. Tiga belas yang tiada empat belasnya ialah jumlah saudara Yusuf ditambah dengan ayah dan ibunya.

14. Adapun sesuatu yang bernafas namun tidak mempunyai ruh adalah waktu Shubuh. Allah SWT ber-firman, "...Dan waktu subuh apabila fajarnya mulai menyingsing." (At-Takwir: 18).

15. Kuburan yang membawa isinya adalah ikan yang menelan Nabi Yunus AS.

16. Mereka yang berdusta namun masuk ke dalam surga adalah saudara-saudara Yusuf, yakni ketika mereka berkata kepada ayahnya, "Wahai ayah kami, sesungguhnya kami pergi berlomba-lomba dan kami tinggalkan Yusuf di dekat barang-barang kami, lalu dia dimakan serigala." Setelah kedustaan itu terungkap, Yusuf berkata kepada mereka, "tak ada cercaaan terhadap kalian." Dan ayah mereka Ya'qub berkata, "Aku akan memohonkan ampun bagimu kepada Rabbku. Sesungguhnya Dialah Yang Maha Pengampun lagi Maha Penyayang."

17. Sesuatu yang diciptakan Allah namun tidak Dia sukai adalah suara keledai. Allah SWT berfirman, "Sesungguhnya sejelek-jelek suara adalah suara keledai." (Luqman: 19).

18. Makhluk yang diciptakan Allah tanpa bapak dan ibu adalah Nabi Adam, malaikat, unta Nabi Shalih dan kambing Nabi Ibrahim.

19. Makhluk yang diciptakan dari api adalah Iblis, yang diadzab dengan api ialah Abu Jahal dan yang terpelihara dari api adalah Nabi Ibrahim. Allah SWT berfirman, "Wahai api dinginlah dan selamatkan Ibrahim." (Al-Anbiya').

20. Makhluk yang terbuat dari batu adalah unta Nabi Shalih, yang diadzab dengan batu adalah tentara bergajah dan yang terpelihara dari batu adalah Ash-habul Kahfi (penghuni gua).

21. Sesuatu yang diciptakan Allah dan dianggap perkara besar adalah tipu daya wanita, sebagaimana firman Allah SWT : "Sesungguhnya tipu daya kaum wanita itu sangatlah besar." (Yusuf: 28).

22. Adapun pohon yang memiliki 12 ranting setiap ranting mempunyai 30 daun, setiap daun mempunyai 5 buah, 3 di bawah teduhan dan dua di bawah sinaran matahari maknanya : Pohon adalah tahun, ranting adalah bulan, daun adalah hari dan buahnya adalah shalat yang lima waktu, tiga dikerjakan di malam hari dan dua di siang hari.

Pendeta dan para hadirin merasa takjub mendengar jawaban pemuda muslim tersebut. Kemudian ia pamit dan beranjak hendak pergi. Namun ia mengurungkan niatnya dan meminta kepada pendeta agar menjawab satu pertanyaan saja.

Permintaan ini disetujui oleh sang pendeta. Pemuda itu bertanya : "Apakah kunci surga itu ?"

Mendengar pertanyaan itu lidah sang pendeta menjadi kelu, hatinya diselimuti keraguan dan rona wajahnya pun berubah. Ia berusaha menyembunyikan kekhawatirannya, namun hasilnya nihil. Orang-orang yang hadir di gereja itu terus mendesaknya agar menjawab pertanyaan tersebut, namun ia berusaha mengelak.

Mereka berkata : "Anda telah melontarkan 22 pertanyaan kepadanya dan semuanya telah ia jawab, sementara ia hanya memberimu satu pertanyaan namun anda tidak mampu menjawabnya !"

Pendeta tersebut berkata, "Sungguh aku mengetahui jawaban dari pertanyaan tersebut, namun aku takut kalian marah."

Mereka menjawab : "Kami akan jamin keselamatan anda." Sang pendeta pun berkata : "Jawabannya ialah: Asyhadu an-La Ilaaha Illallah wa Asyhadu anna Muhammadar Rosulullah."

Lantas sang pendeta dan orang-orang yang hadir di gereja itupun memeluk agama Islam...

Sungguh Allah telah menganugerahkan kebaikan dan menjaga mereka dengan Islam melalui tangan seorang pemuda muslim yang bertakwa.

Kaum yang berpikir (termasuk para pendeta) sedianya telah mengetahui bahwa Islam adalah agama yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW dan akan menjaga manusia dalam kesejahteraan baik di dunia maupun di akhirat...

Apa yang menyebabkan hati-hati mereka itu masih tertutup bahkan cenderung mereka sendiri yang menutup rapat jiwanya..

Semoga Allah SWT memberikan Hidayah kepada mereka yang mau berpikir... Amiiiiiiiiieeeen...

Read more...

KISAH FIR'AUN

>> 10 Januari 2010

Dalam sejarah yang diceritakan dalam Al-qur'an, pada waktu Nabi Musa bersama kaumnya keluar dari negeri Mesir menuju Palestina dikejar oleh Fir'aun dan balatentaranya, mereka harus melalui laut merah sebelah utara, maka Allah merintahakan kepada Musa memukul laut itu, dengan tongkatnya, perintah itu dilaksanakan oleh Musa hingga terbelahlah laut merah tersebut dan terbentanglah jalan raya di tengah-tengahnya, dan Musa melalui jalan itu sampai selamatlah Musa dan kaumnya ke seberang... Sedang Fir'aun dan pengikut-pengikutnya melalui jalan itu pula, tetapi diwaktu mereka berada di tengah-tengah laut, kembali laut itu sebagaimana semula, lalu tenggelamlah Fir'aun dan balatentaranya dilaut merah itu.

KESOMBONGAN DAN KEBENGISAN FIR'AUN

Fir'aun adalah gelar bagi raja-raja Mesir purbakala, menurut sejarah, ini Fir'aun dimasa Nabi Musa tercantum dalam Surat Al- Qashash ayat 38 menyebutkan : Ketika Fir'aun tidak kuasa lagi mendebat Musa. Ia tetap bersikap sewenag-wenang berkata: " Wahai masyarakat sekalian, aku tidak mengetahui adanya Tuhan bagi kalian selain diriku" Kemudian ia memerintahkan mentrinya, Haman, untuk memperkerjakan oran-orang agar membuat bangunan dan istana yang tinggi agar Fir'aun dapat menaikinya untuk melihat Tuhan yang diserukan Musa, Maka dengan begitu Fir'aun dapat lebih yakin bahwa Musa termasuk dalam golongan para pendusta dalam anggapannya. Fir'aun dan balatentaranya tetap angkuh dengan kebatilan di muka bumi, Maka Allah menenggelamkan Fir'aun dan balatentaranya dilaut merah utara, menurut sejarah setelah beberapa tahun, Allah menyelamatkan tubuh kasarnya dan terdampar dipinggir laut ditemukan oleh orang Mesir kemudian di balsem, masih utuh sampai sekarang ada di musium Tahrir yang berada di tengah kota Cairo.















(Laut Merah Tempat Fir'aun digulung ombak)

Allah menyelamatkan tubuh kasar Fir'aun sebagai peringatan bagi manusia-manusia di dunia setelah itu. (Lihat Foto Mummy Fir'aun di atas)


FIR'AUN MATI DENGAN MULUT DISUMPAL MALAIKAT JIBRIL

Dari Sa’id bin Jubeir dari Ibnu ‘Abbas radhiya’l-lahu‘anhuma meriwayatkan: “dua orang Sahabat menghadap Rasulullah (menanyakan tentang Fir’aun). Sabda Nabi s.a.w: “Malaikat Jibril menyumpali mulut Fir’aun dengan pasir, khawatir kalau-kalau akan mengucapkan: La ilaha illa’llah” (Shahih, HR. Turmudzi [3107]; Ahmad [2145], at-Thabari [11/163]; Ibnu Hibban [6215]; Nasa’i [6/363]. Dishahihkan oleh Syeikh Albani dalam as-Shahihah [2015] dan Shahih Sunan Turmudzi [2484]. Dishahihkan juga oleh Syeikh Syu’aib Arnouth, Tahqiq Shahih Ibnu Hibban [14/98])

Fir’aun mati dengan mulut menyon

Hadits di atas umumnya dapat kita temui pada bahasan ayat tenggelamnya Fir’aun. Imam at-Thabari dan Imam Al-Qurthubi misalnya meletakkan hadits tersebut pada surah Yunus ayat 90, di mana Allah berfirman: “Dan Kami memungkinkan Bani Israil melintasi laut, lalu mereka diikuti oleh Fir’aun dan bala tentaranya, karena hendak menganiaya dan menindas (mereka); hingga bila Fir’aun itu telah hampir tenggelam berkatalah dia: Saya percaya bahwa tidak ada Tuhan melainkan Tuhan yang dipercayai oleh Bani Israil, dan saya termasuk orang-orang yang berserah diri (kepada Allah).” (Qs. 10:90) .

Pada detik-detik naza‘nya, malaikat Jibril melihat gelagat Fir’aun akan mempergunakan kesempatan dalam kesempitan. Allah Ta’ala memerintahkan malaikat Jibril untuk mengeksekusi nyawa Fir’aun dengan cara menyumpal mulutnya dengan pasir, supaya tidak sampai mengucapkan keimanan dan pertaubatannya. Akhirnya Fir’aun mati dengan mulut menyon dan jauh dari rahmat Allah s.w.t.(Tafsir Al-Kasyaf, 21 202).

Karena iman dan taubat pada saat ini, tiada guna sama sekali. Para Ulama mengatakan: “anna’l-iman bi’l-qalbi ka’imani’l-akhras“, iman sebatas bibir tak ubahnya seperti iman bisu. Iman dalam kondisi terpaksa atau dipaksa oleh suatu keadaan tertentu, bukan iman khalis (murni). Iman seperti ini, tidak direken oleh Allah. Mengutip Tafsir Syeikh Sa’di, ada dua keadaan di mana iman tidak berguna pada saat itu yakni beriman di ujung sakarat dan beriman menjelang hari Qiamat, sesuai firman Allah dalam surah Al-Mu’min:85.

Termasuk keimanan yang terpaksa atau dipaksa adalah masuk Islam karena mau nikah, mau terima warisan, karena tujuan politik atau duniawi lainnya, seperti banyak menggejala akhir-akhir ini. Iman Nabi Yunus boleh jadi contoh, beliau ingat Allah di semua keadaan, dalam senang maupun di waktu susah. Sementara iman Fir’aun adalah iman kejepit. Allah melukiskan iman Nabi Yunus melalui ayat: “Maka jika sekiranya dia (Nabi Yunus) tidak termasuk orang-orang yang banyak mengingat Allah, niscaya ia akan tetap tinggal di perut ikan itu sampai hari berbangkit.” (Qs.As-Shaffatf 143-144)

Fir’aun wafat di Laut Merah atau laut Qalzum atau ebelumnya populer dengan nama FAM AL-HAIRUTS, dekat terusan Suez, pada tanggal 10 Muharram dan karena itulah ada syari’at shaum ‘Asyura, setelah sebelumnya menyatakan taubat dan yakin akan Tuhan Allah s.w.t. Dan inilah taubat ghayru maqbui yakni taubat tertolak (Qs. 10:90)

Dalam hadits Bukhari-Muslim dan Abu Qatadah dapat kita simpulkan bahwa, kematian Fir’aun disyukuri oleh ummat manusia, dan inilah kematian orang yang diistirahatkan (mustarah). Bagi Bani Isra’il kematian Fir’aun adalah hari kemerdekaan, di mana puasa Asyura adalah wujud peringatan mensyukuri kematian Fir’aun, setiap tahun. Karena itu wahai para pemimpin, jauhilah perilaku Fir’aun.

Fir’aun kafir sejak bayi

Di antara perkara yang aneh dalam din Fir’aun adalah fithrah kejadiannya. Umum-nya bayi diciptakan oleh Allah dalam keadaan fithrah, kullu mawludin yuladu ‘alal-fithrah, tapi tampaknya hadits ini dikecualikan terhadap bayi Fir’aun. Karena sejak orok sudah kafir di dalam perut ibunya. Syeikh Albani dalam Shahihul Jami’ no.3237 menghasankan bunyi hadits “wa khalaqa fir’aun fi bathni ummihi kafiran,” dan Fir’aun dijadikan (oleh Allah) dalam perut ibunya dalam keadaan kafir. (HR. Ibnu ‘Adi dalam Al-Kamil dan Imam Thabarani dalam Al-Ausath).

Abu Sa’id Al-Khudri radhiya’l-lahu ‘anh menceritakan, saat menyampaikan hadits ini Rasulullah s.a.w. sedang berkhutbah di hadapan kami pada sore hari. Nabi s.a.w bersabda: “yuwladu’n-nass ata thabaqatin syatta, manusia dilahirkan berdasarkan tingkatannya sendiri-sendiri.” Ada yang ahir mu’min, hidup mu’min dan mati dalam keadaan mu’min. Ada yang lahir kafir, hidup kafir dan mati pun kafir. Ada yang lahir mu’min, hidup mu’min dan mati kafir, serta ada yang lahir kafir, hidup kafir, tapi matinya dalam keadaan mu’min. Berkata Ibnu Mas’ud radhiya’l-lahu ‘anh, pada kesempatan inilah hadits di atas disabdakan oleh Rasulullah s.a.w, “khalaqa’l-lahu yahya bin zakariya fi bathni ummihi mu’minan wa khalaqa fir’aun fi bathni ummihi kafiran.” Tafsir Qurthubi, surah at-Tagha-bun:2. As-Shahihah Syeikh Albani [4/446] no.: 1831, dan sesuai dengan bunyi hadits ‘Aisyah dalam Shahih Muslim [8/54-55] no.2662).

Bisa kita simpulkan, bahwa Fir’aun terlahir untuk menjadi dajjal. Karena itu, Imam Ibnu ayyim Al-Jauziyah (w.751 H) memasukkan Fir’aun dalam deretan tokoh dajjajilah sepanjang sejarah mewakili simbol penguasa dzalim (kitab al-Fawa’id,hal:90). Ada dajjal sifat yang selalu ada di panggung sejarah meramaikan jagad zaman, dan pada saatnya nanti -’ala qadarillah akan muncul dajjal kubra yang menghiasi fenomena fitnah akhir zaman dan menjadi tanda tibanya hari Qiamat. Sama dengan Fir’aun, Dajjal akhir zaman, juga kafir. Tanda kekafiran itu, jelas terbaca oleh orang mu’min di jidatnya. Apa mungkin dia anak cucu Fir’aun, sejarahlah yang akan menjawabnya, yang jelas bapak-ibunya adalah orang Yahudi, dan watak aslinya adalah suka melakukan penjungkir-balikan fakta atas nama banyak kepentingan. (Fathul Bari’, 2/318).

Fir’aun, Gelar Raja Durhaka Ahli sejarah terpecah dua; ada yang bilang Fir’aun itu nama orang ismul ‘ajam), yang lain dan terbanyak mengatakan Fir’aun itu gelar bagi raja yang lupa daratan. Tapi yang jelas, nama ini pertama kali dipakai oleh Walid bin Mush’ab bin Rayyan, keturunan Lois bin Sam bin Nuh. (Fajrul ‘Urus [1/8131]).

Fir’aun zaman Musa adalah Ramses II atau Ramses Akbar, yaitu dinasti yang ke-19 yang naik tahta pada 1311 SM. Ada yang mengatakan bahwa, Fir’aun ini juga bernama Maneftah (1224-1214 SM) yang Allah binasakan bersama 700.000 pasukannya di Laut Merah, mayatnya Allah selamatkan, pada waktu syuruq (matahari terbit), menurut Tafsir Muqatil (Qs. 10:90). Mayatnya diawetkan dengan pembalseman dalam bentuk mumi yang kini disimpan di museum Mesir di Kairo dengan berbagai macam hikmah sejarah. Mumi ini ditemukan pertama kali oleh purba-kalawan Perancis, Loret, di Wadi al-Muluk (lembah raja-raja) Thaba Luxor Mesir pada tahun 1896 M. Pembalutnya dibuka oleh Eliot Smith, seorang purbakalawan Inggris pada tanggal 8 Juli 1907.

Demikianlah, setiap negara atau kepercayaan, punya gelar tersendiri. Sejauh tidak melampaui koridor wahyu dan amanah kekuasaan, gelar ini sah-sah saja untuk menun-jukan prestasi atau mendorong semangat juang. Sejarah kekuasaan melaporkan, bahwa para penguasa memang doyan dengan gelar. Terlebih lagi jika gelar ini disematkan langsung oleh rakyat, disebut-sebut dalam forum terbuka, diperhelatan atau di balai-balai pertemuan. Bahkan ada gelar pemimpin yang sampai pada taraf kultus atau ghuluw. Para pemimpin dan tokoh ini merasa senang jika gelar kebesaran atau kehormatan itu disebut-sebut dalam untaian do’a dengan penghormatan yang sangat berlebihan.

Tetapi mereka lupa, ketika gelar mengarah pada kultus pada saat inilah gelar bisa makan tuan. Gelar menyeret pemiliknya pada kesombongan, sehingga bisa lupa daratan. Fitnah ghuluw (kultus, fanatik) muncul dari pemujaan gelar yang kelewat batas.

Perhatikanlah pesan indah dari Imam as-Syafi’i rahimahullah berikut ini: Berkata Imam as-Syafi’i: “aku benci orang yang kelewat mengagungkan makhluk, hingga menjadikan kuburannya (dijadikan sebagai) masjid. Aku kuatir terjadi fitnah atasnya dan fitnah atas orang sesudahnya.” (Imam An-Nawawi, AI-Majmu’ [5/269]; Al-Umm Imam As-Syafi’i [1/92-93])

Sumber : Buletin Dakwah No.02 Th. XXXV 11 Januari 2008

Read more...

ISLAM IS A WAY OF LIFE

ISLAM IS A WAY OF LIFE
ALLAH SANG MAHA ESA & MAHA BERKUASA
Jadwal Waktu Sholat (6 Juta Kota)

BIMBINGAN SHOLAT WAJIB ( Klik Gambar untuk Mulai )

Hanya Allah SWT yang Maha Berkuasa atas Dunia dan Akhirat

Hanya Allah SWT yang Maha Berkuasa atas Dunia dan Akhirat

Kami Mencintai Allah SWT dan Muhammad SAW

Kami Mencintai Allah SWT dan Muhammad SAW

Nabi yang Paling Kami Cintai adalah Muhammad SAW

Nabi yang Paling Kami Cintai adalah Muhammad SAW

  © Free Blogger Templates Joy by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP