LAA ILAAHA ILLALLAH

LAA ILAAHA ILLALLAH

SEKAPUR SIRIH


ASSALAAMU'ALAIKUM WR. WB.
BISMILLAAHIR ROHMAANIR ROHIIM...

ALHAMDULILLAH, BLOG AL-ISLAM INI DIBUAT DENGAN TUJUAN UTAMANYA ADALAH DAKWAH ISLAMIAH SERTA MEMBERIKAN KEBEBASAN BEREKSPRESI DALAM BERAGAMA ISLAM BAGI PARA PEMELUKNYA DEMI TERCAPAINYA SUATU PEMAHAMAN YANG KOMPREHENSIF & MENDALAM TENTANG AGAMANYA MELALUI PRINSIP-PRINSIP SALING MENGHORMATI, SALING MENGINGATKAN SESAMA MUSLIM DENGAN BERLANDASKAN KEPADA TOLERANSI ANTAR UMAT BERAGAMA TANPA ADA NIAT SEDIKITPUN UNTUK MENDISKREDITKAN AGAMA-AGAMA LAIN DI LUAR AGAMA ISLAM.
(Pengasuh Blog)

MUTIARA ISLAM (1) :

MUTIARA ISLAM (2) :

MUTIARA ISLAM (3) :

BERIMAN KEPADA TAKDIR BAIK & BURUK

>> 02 Juni 2010

Banyak orang mengenal rukun iman tanpa mengetahui makna dan hikmah yang terkandung dalam keenam rukun iman tersebut. Salah satunya adalah iman kepada takdir. Tidak semua orang yang mengenal iman kepada takdir, mengetahui hikmah dibalik beriman kepada takdir dan bagaimana mengimani takdir. Berikut sedikit ulasan mengenai iman kepada takdir Allah yang baik dan yang buruk.



Takdir (qadar) adalah perkara yang telah diketahui dan ditentukan oleh Allah Subhanahu wa Ta’ala dan telah dituliskan oleh al-qalam (pena) dari segala sesuatu yang akan terjadi hingga akhir zaman. (Terj. Al Wajiiz fii ‘Aqidatis Salafish Shalih Ahlis Sunnah wal Jama’ah, hal. 95)

Allah telah menentukan segala perkara untuk makhluk-Nya sesuai dengan ilmu-Nya yang terdahulu (azali) dan ditentukan oleh hikmah-Nya. Tidak ada sesuatupun yang terjadi melainkan atas kehendak-Nya dan tidak ada sesuatupun yang keluar dari kehendak-Nya. Maka, semua yang terjadi dalam kehidupan seorang hamba adalah berasal dari ilmu, kekuasaan dan kehendak Allah, namun tidak terlepas dari kehendak dan usaha hamba-Nya.



Allah Ta’ala berfirman :



“Sesungguhnya Kami menciptakan segala sesuatu menurut ukuran.” (Qs. Al-Qamar: 49)

“Dan Dia telah menciptakan segala sesuatu, dan Dia menetapkan ukuran-ukurannya dengan serapi-rapinya.” (Qs. Al-Furqan: 2)



“Dan tidak ada sesuatupun melainkan pada sisi Kami-lah khazanahnya, dan Kami tidak menurunkannya melainkan dengan ukuran tertentu.” (Qs. Al-Hijr: 21)



Mengimani takdir baik dan takdir buruk, merupakan salah satu rukun iman dan prinsip ‘aqidah Ahlus Sunnah wal Jama’ah. Tidak akan sempurna keimanan seseorang sehingga dia beriman kepada takdir, yaitu dia mengikrarkan dan meyakini dengan keyakinan yang dalam bahwa segala sesuatu berlaku atas ketentuan (qadha’) dan takdir (qadar) Allah.



Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :



“Tidak beriman salah seorang dari kalian hingga dia beriman kepada qadar baik dan buruknya dari Allah, dan hingga yakin bahwa apa yang menimpanya tidak akan luput darinya, serta apa yang luput darinya tidak akan menimpanya.” (Shahih, riwayat Tirmidzi dalam Sunan-nya (IV/451) dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dan diriwayatkan pula oleh Imam Ahmad dalam Musnad-nya (no. 6985) dari ‘Abdullah bin ‘Amr. Syaikh Ahmad Syakir berkata: ‘Sanad hadits ini shahih.’Lihat juga Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah (no. 2439), karya Syaikh Albani rahimahullah)



Jibril ‘alaihis salam pernah bertanya kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam mengenai iman, maka beliau shallallahu ‘alaihi wa sallam menjawab :



“Engkau beriman kepada Allah, Malaikat-Malaikat-Nya, Kitab-Kitab-Nya, Rasul-Rasul-Nya, hari akhir serta qadha’ dan qadar, yang baik maupun yang buruk.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya di kitab al-Iman wal Islam wal Ihsan (VIII/1, IX/5))



Dan Shahabat ‘Abdullah bin ‘Umar radhiyallahu ‘anhuma juga pernah mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :



“Segala sesuatu telah ditakdirkan, sampai-sampai kelemahan dan kepintaran.”
(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya (IV/2045), Tirmidzi dalam Sunan-nya (IV/452), Ibnu Majah dalam Sunan-nya (I/32), dan al-Hakim dalam al-Mustadrak (I/23))



Tingkatan Takdir


Beriman kepada takdir tidak akan sempurna kecuali dengan empat perkara yang disebut tingkatan takdir atau rukun-rukun takdir. Keempat perkara ini adalah pengantar untuk memahami masalah takdir. Barang siapa yang mengaku beriman kepada takdir, maka dia harus merealisasikan semua rukun-rukunnya, karena yang sebagian akan bertalian dengan sebagian yang lain. Barang siapa yang mengakui semuanya, baik dengan lisan, keyakinan dan amal perbuatan, maka keimanannya kepada takdir telah sempurna. Namun, barang siapa yang mengurangi salah satunya atau lebih, maka keimanannya kepada takdir telah rusak.



Tingkatan Pertama: al-’Ilmu (Ilmu)


Yaitu, beriman bahwa Allah mengetahui dengan ilmu-Nya yang azali mengenai apa-apa yang telah terjadi, yang akan terjadi, dan apa yang tidak terjadi, baik secara global maupun terperinci, di seluruh penjuru langit dan bumi serta di antara keduanya. Allah Maha Mengetahui semua yang diperbuat makhluk-Nya sebelum mereka diciptakan, mengetahui rizki, ajal, amal, gerak, dan diam mereka, serta mengetahui siapa di antara mereka yang sengsara dan bahagia.



Allah Ta’ala telah berfirman :



“Apakah kamu tidak mengetahui bahwa sesungguhnya Allah mengetahui apa saja yang ada di langit dan di bumi? Bahwasanya yang demikian itu terdapat dalam sebuah kitab (Lauh Mahfuzh). Sesungguhnya yang demikian itu amat mudah bagi Allah.” (Qs. Al-Hajj: 70)



“Dan pada sisi Allah-lah kunci-kunci semua perkara yang ghaib, tidak ada yang mengetahuinya kecuali Dia sendiri, dan Dia Maha Mengetahui apa yang ada di daratan dan di lautan, dan tidak ada sehelai daun pun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak jatuh sebutir biji pun dalam kegelapan bumi dan tidak juga sesuatu yang basah atau yang kering, melainkan telah tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Qs. Al-An’aam: 59)



“Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui atas segala sesuatu.” (Qs. At-Taubah: 115)



Tingkatan Kedua: al-Kitaabah (Penulisan)


Yaitu, mengimani bahwa Allah Subhanahu wa Ta’ala telah menuliskan apa yang telah diketahui-Nya berupa ketentuan-ketentuan seluruh makhluk hidup di dalam al-Lauhul Mahfuzh. Suatu kitab yang tidak meninggalkan sedikit pun di dalamnya, semua yang terjadi, apa yang akan terjadi, dan segala yang telah terjadi hingga hari Kiamat, ditulis di sisi Allah Ta’ala dalam Ummul Kitab.



Allah Ta’ala berfirman :



“Dan segala sesuatu Kami kumpulkan dalam kitab induk yang nyata (Lauh Mahfuzh).” (Qs. Yaasiin: 12)

“Tidak ada suatu bencana pun yang menimpa di bumi dan (tidak pula) pada dirimu sendiri melainkan telah tertulis dalam kitab (Lauh Mahfuzh) sebelum Kami menciptakannya.” (Qs. Al-Hadiid: 22)



Dan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda :



“Allah telah menulis seluruh takdir seluruh makhluk sejak lima puluh ribu tahun sebelum Allah menciptakan langit dan bumi.”(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya, kitab al-Qadar (no. 2653), dari ‘Abdullah bin ‘Amr bin al-’Ash radhiyallahu ‘anhuma, diriwayatkan pula oleh Tirmidzi (no. 2156), Imam Ahmad (II/169), Abu Dawud ath-Thayalisi (no. 557))



Dalam sabdanya yang lain :



“Yang pertama kali Allah ciptakan adalah al-qalam (pena), lalu Allah berfirman, ‘Tulislah!’ Ia bertanya, ‘Wahai Rabb-ku apa yang harus aku tulis?’ Allah berfirman, ‘Tulislah takdir segala sesuatu sampai terjadinya Kiamat.’” (Shahih, riwayat Abu Dawud (no. 4700), dalam Shahiih Abu Dawud (no. 3933), Tirmidzi (no. 2155, 3319), Ibnu Abi ‘Ashim dalam as-Sunnah (no. 102), al-Ajurry dalam ­asy-Syari’ah (no.180), Ahmad (V/317), dari Shahabat ‘Ubadah bin ash-Shamit radhiyallahu ‘anhu)



Oleh karena itu, apa yang telah ditakdirkan menimpa manusia tidak akan meleset darinya, dan apa yang ditakdirkan tidak akan mengenainya, maka tidak akan mengenainya, sekalipun seluruh manusia dan golongan jin mencoba mencelakainya.



Tingkatan Ketiga: al-Iraadah dan Al Masyii-ah (Keinginan dan Kehendak)


Yaitu, bahwa segala sesuatu yang terjadi di langit dan di bumi adalah sesuai dengan keinginan dan kehendak (iraadah dan masyii-ah) Allah yang berputar di antara rahmat dan hikmah. Allah memberi petunjuk kepada siapa yang dikehendaki-Nya dengan rahmat-Nya, dan menyesatkan siapa yang dikehendaki-Nya dengan hikmah-Nya. Dia tidak boleh ditanya mengenai apa yang diperbuat-Nya karena kesempurnaan hikmah dan kekuasaan-Nya, tetapi kita, sebagai makhluk-Nya yang akan ditanya tentang apa yang terjadi pada kita, sesuai dengan firman-Nya :



“Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang akan ditanyai.” (Qs. Al-Anbiyaa’: 23)



Kehendak Allah itu pasti terlaksana, juga kekuasaan-Nya sempurna meliputi segala sesuatu. Apa yang Allah kehendaki pasti akan terjadi, meskipun manusia berupaya untuk menghindarinya, dan apa yang tidak dikehendaki-Nya, maka tidak akan terjadi, meskipun seluruh makhluk berupaya untuk mewujudkannya.



Allah Ta’ala berfirman :



“Barang siapa yang Allah menghendaki akan memberikan kepadanya petunjuk, niscaya Dia akan melapangkan dadanya untuk (memeluk agama) Islam. Dan barang siapa yang dikehendaki Allah kesesatannya, niscaya Allah menjadikan dadanya sesak lagi sempit.” (Qs. Al-An’aam: 125)



“Dan kamu tidak dapat menhendaki (menempuh jalan itu) kecuali apabila dikehendaki Allah, Rabb semesta alam.” (Qs. At-Takwir: 29)



Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam juga bersabda :



“Sesungguhnya hati-hati manusia seluruhnya di antara dua jari dari jari jemari Ar-Rahmaan seperti satu hati; Dia memalingkannya kemana saja yang dikehendaki-Nya.”(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya (no. 2654). Lihat juga Silsilah al-Ahaadits ash-Shahihah (no. 1689))



Ibnu Qudamah rahimahullah berkata, “Para Imam Salaf dari kalangan umat Islam telah ijma’ (sepakat) bahwa wajib beriman kepada qadha’ dan qadar Allah yang baik maupun yang buruk, yang manis maupun yang pahit, yang sedikit maupun yang banyak. Tidak ada sesuatu pun terjadi kecuali atas kehendak Allah dan tidak terwujud segala kebaikan dan keburukan kecuali atas kehendak-Nya. Dia menciptakan siapa saja dalam keadaan sejahtera (baca: menjadi penghuni surga) dan ini merupakan anugrah yang Allah berikan kepadanya dan menjadikan siapa saja yang Dia kehendaki dalam keadaan sengsara (baca: menjadi penghuni neraka). Ini merupakan keadilan dari-Nya serta hak absolut-Nya dan ini merupakan ilmu yang disembunyikan-Nya dari seluruh makhluk-Nya.” (al-Iqtishaad fil I’tiqaad, hal. 15)



Tingkatan Keempat: al-Khalq (Penciptaan)


Yaitu, bahwa Allah adalah Pencipta (Khaliq) segala sesuatu yang tidak ada pencipta selain-Nya, dan tidak ada rabb selain-Nya, dan segala sesuatu selain Allah adalah makhluk.

Sebagaimana firman Allah Ta’ala :



”Allah menciptakan segala sesuatu dan Dia memelihara segala sesuatu.” (Qs. Az-Zumar: 62)



Meskipun Allah telah menentukan takdir atas seluruh hamba-Nya, bukan berarti bahwa hamba-Nya dibolehkan untuk meninggalkan usaha. Karena Allah telah memberikan qudrah (kemampuan) dan masyii-ah (keinginan) kepada hamba-hamba-Nya untuk mengusahakan takdirnya. Allah juga memberikan akal kepada manusia, sebagai tanda kesempurnaan manusia dibandingkan dengan makhluk-Nya yang lain, agar manusia dapat membedakan antara kebaikan dan keburukan. Allah tidak menghisab hamba-Nya kecuali terhadap perbuatan-perbuatan yang dilakukannya dengan kehendak dan usahanya sendiri. Manusialah yang benar-benar melakukan suatu amal perbuatan, yang baik dan yang buruk tanpa paksaan, sedangkan Allah-lah yang menciptakan perbuatan tersebut.


Hal ini berdasarkan firman-Nya :



“Padahal Allah-lah yang menciptakanmu dan apa yang kamu perbuat itu.” (Qs. Ash-Shaaffaat: 96)



Dan Allah Ta’ala juga berfirman, yang artinya :



“Allah tidak membebani seseorang melainkan sesuai dengan kemampuannya.” (Qs. Al-Baqarah: 286)



Hikmah Beriman Kepada Takdir


Beriman kepada takdir akan mengantarkan kita kepada sebuah hikmah penciptaan yang mendalam, yaitu bahwasanya segala sesuatu telah ditentukan. Sesuatu tidak akan menimpa kita kecuali telah Allah tentukan kejadiannya, demikian pula sebaliknya. Apabila kita telah faham dengan hikmah penciptaan ini, maka kita akan mengetahui dengan keyakinan yang dalam bahwa segala sesuatu yang datang dalam kehidupan kita tidak lain merupakan ketentuan Allah atas diri kita. Sehingga ketika musibah datang menerpa perjalanan hidup kita, kita akan lebih bijak dalam memandang dan menyikapinya. Demikian pula ketika kita mendapat giliran memperoleh kebahagiaan, kita tidak akan lupa untuk mensyukuri nikmat Allah yang tiada henti.



Manusia memiliki keinginan dan kehendak, tetapi keinginan dan kehendaknya mengikuti keinginan dan kehendak Rabbnya. Golongan Ahlus Sunnah menetapkan dan meyakini bahwa segala yang telah ditentukan, ditetapkan dan diperbuat oleh Allah memiliki hikmah dan segala usaha yang dilakukan manusia akan membawa hasil atas kehendak Allah.



Ingatlah saudariku, tidak setiap hal akan berjalan sesuai dengan apa yang kita harapkan, maka hendaklah kita menyerahkan semuanya dan beriman kepada apa yang telah Allah tentukan. Jangan sampai hati kita menjadi goncang karena sedikit ’sentilan’, sehingga muncullah bisikan-bisikan dan pikiran-pikiran yang akan mengurangi nikmat iman kita.


Dengarlah sabda Nabi kita shallallahu ‘alaihi wa sallam :



“Berusahalah untuk mendapatkan apa yang bermanfaat bagimu, dan mintalah pertolongan Allah dan janganlah sampai kamu lemah (semangat). Jika sesuatu menimpamu, janganlah engkau berkata ’seandainya aku melakukan ini dan itu, niscaya akan begini dan begitu.’ Akan tetapi katakanlah ‘Qodarullah wa maa-syaa-a fa’ala (Allah telah mentakdirkan segalanya dan apa yang dikehendaki-Nya pasti dilakukan-Nya).’ Karena sesungguhnya (kata) ’seandainya’ itu akan mengawali perbuatan syaithan.”(Shahih, riwayat Muslim dalam Shahih-nya (no. 2664))



Tidak ada seorang pun yang dapat bertindak untuk merubah apa yang telah Allah tetapkan untuknya. Maka tidak ada seorang pun juga yang dapat mengurangi sesuatu dari ketentuan-Nya, juga tidak bisa menambahnya, untuk selamanya. Ini adalah perkara yang telah ditetapkan-Nya dan telah selesai penentuannya. Pena telah terangkat dan lembaran telah kering.



Berdalih dengan takdir diperbolehkan ketika mendapati musibah dan cobaan, namun jangan sekali-kali berdalih dengan takdir dalam hal perbuatan dosa dan kesalahan. Setiap manusia tidak boleh memasrahkan diri kepada takdir tanpa melakukan usaha apa pun, karena hal ini akan menyelisihi sunnatullah. Oleh karena itu berusahalah semampunya, kemudian bertawakkallah.



Sebagaimana disebutkan dalam firman-Nya :


“Dan bertawakkallah kepada Allah. Sesungguhnya Dialah yang Maha Mendengar lagi Maha Mengetahui.” (Qs. Al-Anfaal: 61)



“Barang siapa bertawakkal kepada Allah, niscaya Allah akan mencukupi (keperluan)nya.” (Qs. Ath-Thalaq: 3)



Dan jika kita mendapatkan musibah atau cobaan, janganlah berputus asa dari rahmat Allah dan janganlah bersungut-sungut, tetapi bersabarlah. Karena sabar adalah perisai seorang mukmin yang dia bersaudara kandung dengan kemenangan. Ingatlah bahwa musibah atau cobaan yang menimpa kita hanyalah musibah kecil, karena musibah dan cobaan terbesar adalah wafatnya Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam, sebagaimana disebutkan dalam sabdanya :



“Jika salah seorang diantara kalian tertimpa musibah, maka ingatlah musibah yang menimpaku, sungguh ia merupakan musibah yang paling besar.”(Shahih li ghairih, riwayat Ibnu Sa’ad dalam Ath-Thabaqat (II/375), Ad-Darimi (I/40))



Apabila hati kita telah yakin dengan setiap ketentuan Allah, maka segala urusan akan menjadi lebih ringan, dan tidak akan ada kegundahan maupun kegelisahan yang muncul dalam diri kita, sehingga kita akan lebih semangat lagi dalam melakukan segala urusan tanpa merasa khawatir mengenai apa yang akan terjadi kemudian. Karena kita akan menggenggam tawakkal sebagai perbekalan ketika menjalani urusan dan kita akan menghunus kesabaran kala ujian datang menghadang.



Wallahu Ta’ala a’lam wal musta’an.



Penulis: Ummu Sufyan Rahmawaty Woly
Muraja’ah: Ust. Aris Munandar


Read more...

MENUMBUHKAN SIFAT TAWADHU'

Makin berisi makin merunduk. Begitulah peribahasa 'ilmu padi' yang sering kita dengar. Dalam syari'at Islam yang mulia pun diajarkan hal yang serupa, sifat dan sikap tawadhu'.

Al-Qur’an dalam beberapa ayatnya menyebutkan pujian bagi orang-orang yang tawadhu’ dan mengancam orang yang sombong. Tidak ada keutamaan seseorang terhadap yang lain kecuali nilai takwanya.


Alloh subhanahu wata'ala berfirman: “Sesungguhnya orang yang paling mulia di antara kamu di sisi Alloh ialah orang yang paling takwa di antara kamu. Sesungguhnya Alloh Maha mengetahui lagi Maha Mengenal.” (QS. al-Hujurot [49]: 13)


Maka yang menjadi ukuran adalah ketakwaan, bukan banyaknya harta, tingginya pangkat atau kemuliaan nasab. Takwa adalah barometer dalam segala perkara. Tidak akan bermanfaat harta, pangkat dan keturunan kecuali diiringi dengan takwa. Salah satu perangai ketakwaan yang dianjurkan dalam agama adalah sifat tawadhu’.


Definisi Tawadhu’


Tawadhu’ secara bahasa bermakna rendah terhadap sesuatu. Sedangkan secara istilah adalah menampakkan perendahan hati kepada sesuatu yang diagungkan. Ada juga yang mengatakan tawadhu’ adalah mengagungkan orang karena keutamaannya. Tawadhu’ adalah menerima kebenaran dan tidak menentang hukum.


Tidak ada yang mengingkari, tawadhu’ adalah akhlak yang mulia. Yang menjadi pertanyaan, kepada siapa kita merendahkan hati. Alloh menyifati hamba yang dicintai-Nya dalam firman-Nya;


“Yang bersikap lemah lembut terhadap orang yang mukmin, yang bersikap keras terhadap orang-orang kafir.” (QS. al-Maidah [5]: 54).


Syarat Tawadhu’

Tawadhu’ adalah akhlak yang agung dan ia tidak sah kecuali dengan dua syarat;


Pertama: Ikhlas karena Alloh semata.

Rosululloh shollallohu alaihi wassalam bersabda;
“Tidaklah seseorang tawadhu’ karena Alloh, kecuali Alloh akan angkat derajatnya.” (HR. Muslim: 2588)


Kedua: Kemampuan

Rosululloh shollallohu alaihi wassalam bersabda: “Barangsiapa yang meninggalkan pakaian karena tawadhu’ kepada Alloh padahal dia mampu, maka Alloh akan memanggilnya pada hari kiamat di hadapan seluruh makhluk hingga Alloh memberinya pilihan dari perhiasan penduduk surga, ia bisa memakainya sekehendaknya.”


Keutamaan Tawadhu’

Tidaklah sifat yang terpuji melainkan menyimpan keutamaan. Ini adalah sebagai pendorong bagi kita agar segera berhias dengan sifat tersebut.


Di antara keutamaan sifat tawadhu’ adalah;


1. Menjalankan perintah Alloh subhanahu wata'ala


Alloh berfirman: “Dan rendahkanlah dirimu terhadap orang-orang yang mengikutimu, yaitu orang-orang yang beriman. (QS. asy-Syu’aro [26]: 215)


Syaikh Ibnu Utsaimin berkata: “Maksudnya adalah tawadhu’, karena orang yang sombong melihat dirinya bagaikan burung yang terbang di angkasa, maka Alloh memerintahkan untuk merendahkan sayapnya dan merendahkan diri terhadap orang-orang beriman yang mengikuti Nabi.”


2. Alloh membenci orang yang sombong


Alloh berfirman: “Dan janganlah kamu memalingkan mukamu dari manusia (karena sombong) dan janganlah kamu berjalan di muka bumi dengan angkuh. Sesungguhnya Alloh tidak menyukai orang-orang yang sombong lagi membanggakan diri.” (QS. Luqman [31]: 18)


Sahabat mulia Ibnu Abbas rodhliyallohu anhu berkata: “Yaitu janganlah kamu sombong, sehingga membawa kalian merendahkan hamba Alloh dan berpaling dari mereka jika mereka berbicara kepadamu.”


3. Perangai hamba yang terpuji


Alloh berfirman:
“Dan hamba-hamba Alloh yang Maha Penyayang itu (ialah) orang-orang yang berjalan di atas bumi dengan rendah hati dan apabila orang-orang jahil menyapa mereka, mereka mengucapkan kata-kata (yang mengandung) keselamatan.” (QS. al-Furqon [25]: 63)


Imam Ibnul Qoyyim rohimahulloh mengatakan: “Firman Alloh berjalan di atas bumi dengan rendah hati yaitu mereka berjalan dengan tenang, penuh dengan ketawadhu’an, tidak congkak dan sombong.”


4. Jalan menuju surga


Alloh berfirman:
“Negeri akhirat itu, Kami jadikan untuk orang-orang yang tidak ingin menyombongkan diri dan berbuat kerusakan di (muka) bumi. dan kesudahan (yang baik) itu adalah bagi orang-orang yang bertakwa.” (QS. al-Qoshos [28]: 83)


5. Mengangkat derajat seorang hamba


Selayaknya bagi setiap muslim untuk berhias diri dengan sifat tawadhu’ karena dengan tawadhu’ tersebut Alloh akan meninggikan derajatnya.


Rosululloh shollallohu alaihi wassalam bersabda; “Tidaklah seseorang tawadhu’ karena Alloh, kecuali Alloh mengangkat derajatnya.” (HR. Muslim:2588)

Imam an-Nawawi rohimahulloh berkata: “Hadits ini mempunyai dua makna:

Pertama: Alloh akan meninggikan derajatnya di dunia, dan mengokohkan sifat tawadhu’nya dalam hati hingga Alloh mengangkat derajatnya di mata manusia.

Kedua: Pahala di akhirat, yakni Alloh akan mengangkat derajatnya di akhirat disebabkan tawadhu’nya di dunia.


6. Mendatangkan rasa cinta, persaudaraan dan menghilangkan kebencian


Rosululloh shollallohu alaihi wassalam bersabda: “Sesungguhnya Alloh mewahyukan kepadaku agar kalian tawadhu’, hingga tidak ada seorang pun yang membanggakan dirinya atas orang lain dan tidak ada lagi orang yang menyakiti atas yang lain.” (HR. Muslim: 2865)


Macam-macam Tawadhu’


Pertama: Tawadhu’ yang terpuji


Yaitu tawadhu’nya seorang hamba ketika melaksanakan perintah Alloh dan meninggalkan larangan-Nya. Karena jiwa ini secara tabiat akan mencari kesenangan dan rasa lapang serta tidak ingin terbebani sehingga akan menimbulkan keinginan lari dari peribadatan dan tetap dalam kesenangannya. Maka apabila seorang hamba mampu menundukan dirinya dengan melaksanakan perintah Alloh dan menjauhi larangan-Nya, sungguh ia telah tawadhu’ dalam peribadatan.


Kedua: Tawadhu’ yang tercela


Yaitu tawadhu’nya seseorang kepada orang yang mempunyai pangkat dunia karena berharap mendapat bagian dunia darinya.


Orang yang memiliki akal sehat dan selamat tentunya ia akan berusaha meninggalkan tawadhu’ tercela ini dan akan berusaha berhias dengan sifat tawadhu’ yang terpuji.


Tingkatan Tawadhu’


Pertama: Tawadhu’ di dalam agama


Yaitu patuh dan mengerjakan yang diajarkan oleh Nabi Muhammad shollallohu alaihi wassalam secara pasrah, tunduk dan taat. Hal itu tidak bisa terwujud kecuali dengan tiga perkara;


a. Tidak mempertentangkan ajaran yang dibawa oleh Nabi shollallohu alaihi wassalam dengan akal, analogi, perasaan, atau siasat.


b. Tidak menuduh bahwa dalil-dalil dalam agama ini adalah cacat dan jelek serta berprasangka bahwa dalil-dalil agama ada yang kurang, atau yang lainnya lebih utama. Barangsiapa yang terlintas dalam pikirannya hal seperti ini, maka salahkanlah pemahamannya.


c. Tidak menyelisihi nash dan dalil yang telah tetap.


Kedua: Menerima kebenaran dari orang yang dicintai atau yang dibenci


Tidak termasuk sikap tawadhu’ adalah menolak kebenaran dikarenakan ia berasal dari musuh.


Ketiga: Menjunjung al-haq


Yaitu menjadikan al-haq dan perintah sebagai dasar perbuatan dan menjalankan ibadah kepada Alloh semata-mata karena perintah dari Alloh dan bukan karena kebiasaan atau hawa nafsu.


Tawadhu’ Dan Menghinakan Diri


Kita sering mendengar istilah tawadhu’ dan menghinakan diri. Keduanya sangat berbeda. Sifat tawadhu’ muncul karena atas dasar ilmu dan pengetahuannya kepada Alloh dan karena pengagungan dan kecintaan kepadaNya serta kesadaran mengintropeksi terhadap aib pribadi.


Semua hal tersebut melahirkan sifat tawadhu’ dalam dirinya. Hatinya tunduk kepada Alloh, patuh dan berserah diri serta mempunyai sifat kasih sayang kepada manusia. Ia melihat tidak mempunyai keutamaan atas orang lain dan tidak merasa benar sendiri atas orang lain. Akhlak semacam ini hanyalah pemberian Alloh kepada hamba-Nya yang dicintai dan yang dimuliakan serta dekat kepadaNya.


Adapun menghinakan diri adalah merendahkan dan menghinakan dirinya kepada orang lain untuk meraih bagian dan kelezatan syahwatnya. Seperti perendahan diri karyawan karena ingin mendapat sesuatu yang diinginkan dari atasannya, kepatuhan orang yang diajak maksiat kepada orang yang mengajaknya, atau kepatuhan orang yang ingin meraih bagian dunia kepada orang yang ia harapkan.


Semua ini adalah bentuk penghinaan diri dan bukan tawadhu’. Alloh hanya mencintai orang-orang yang tawadhu’ dan membenci perendahan dan penghinaan diri.


Imam Ahmad bin Abdurrohman al-Maqdisi rohimahulloh mengatakan: “Sikap pertengahan adalah dengan tawadhu’ tanpa merendahkan diri, dan ini adalah terpuji. Sikap tawadhu’ yang terpuji adalah dengan berbuat adil, yaitu memberikan kepada setiap orang yang mempunyai kedudukan haknya.”


Kiat Menggapai Tawadhu’


1. Berfikirlah dari apa kita diciptakan


Jika seorang muslim bisa mengukur diri, dan menyadari siapa dirinya, dia akan menilai bahwa dirinya adalah insan yang rendah dan hina. Karena manusia bila dilihat dari asal penciptaan berasal dari setetes mani yang keluar dari saluran air kencing, kemudian menjadi segumpal darah, segumpal daging dan akhirnya menjadi seorang insan.


Berawal dari tidak bisa mendengar, tidak melihat dan lemah kemudian menjadi insan yang sempurna penciptaannya.


Alloh berfirman: “Dari apakah Alloh menciptakannya? dari setetes mani, Alloh menciptakannya lalu menentukannya. kemudian Dia memudahkan jalannya.” (QS. ’Abasa [80]: 18-20)


Alloh juga berfirman: “Sesungguhnya Kami telah menciptakan manusia dari setetes mani yang bercampur yang Kami hendak mengujinya (dengan perintah dan larangan), karena itu Kami jadikan ia mendengar dan melihat.” (QS. al-Insan [76]: 2)


Apabila kondisi manusia seperti ini, mengapa ia sombong dan tidak tawadhu’?!
Imam Ibnu Hibban mengatakan: “Bagaimana mungkin seseorang tidak tawadhu’ padahal ia diciptakan dari setetes mani yang hina dan akhir hidupnya ia akan kembali menjadi bangkai yang menjijikkan serta kehidupannya di dunia ia membawa kotoran?”


2. Kenalilah diri Anda


Alloh berfirman: “Dan janganlah kamu berjalan di muka bumi inidengan sombong, karena sesungguhnya kamu sekali-kali tidak dapat menembus bumi dan sekali-kali kamu tidak akan sampai setinggi gunung.” (QS. al-Isro’ [17]: 37)


Syaikh Muhammad Amin as-Syinqithi berkata: “Wahai orang yang sombong, engkau adalah orang yang lemah, hina dan terbatas di dunia ini. Bumi yang engkau berpijak di atasnya, engkau tidak bisa berbuat apapun walaupun engkau injak dengan sekuat tenaga. Jangan angkuh, jangan berjalan di muka bumi ini dengan sombong.”



Oleh: Ustadz Abu Abdillah Syahrul Fatwa

Read more...

ISLAM IS A WAY OF LIFE

ISLAM IS A WAY OF LIFE
ALLAH SANG MAHA ESA & MAHA BERKUASA
Jadwal Waktu Sholat (6 Juta Kota)

BIMBINGAN SHOLAT WAJIB ( Klik Gambar untuk Mulai )

Hanya Allah SWT yang Maha Berkuasa atas Dunia dan Akhirat

Hanya Allah SWT yang Maha Berkuasa atas Dunia dan Akhirat

Kami Mencintai Allah SWT dan Muhammad SAW

Kami Mencintai Allah SWT dan Muhammad SAW

Nabi yang Paling Kami Cintai adalah Muhammad SAW

Nabi yang Paling Kami Cintai adalah Muhammad SAW

  © Free Blogger Templates Joy by Ourblogtemplates.com 2008

Back to TOP