ABU NAWAS PENYAIR ANDAL DINASTI ABBASIYAH
>> 18 Juli 2009
Seorang penyair muda berpenampilan nyentrik itu memang layak dikenang. Rambutnya ikal, panjang bergelombang terurai hingga ke bahu. Karena penampilannya itu, ia dijuluki Abu Nawas (si rambut ikal panjang). Nama aslinya adalah al-Hasan ibn Hani al-Hakami. Ia tumbuh dari keluarga kelas bawah, namun karya-karyanya mewakili kelompok penyair papan atas di zamannya.
''Ia memasukkan unsur-unsur modern dalam karya-karyanya. Dia membangun imajinasi kehidupan kota, seperti anggur, jalanan, gedung-gedung, wanita, dan anak laki-laki 'piaraan', ke dalam puisi. Para penyair sebelumnya lebih senang mengambil objek desa. Dia yang pertama menulis puisi seks dan homoseksualitas,'' kata Adonis, sastrawan Arab modern, mengomentari karya-karya Abu Nawas.
Ketika masih belia, puisi-puisi Abu Nawas banyak bertutur tentang khamar (tuak atau minuman keras). Salah satunya adalah puisi khumrayat (penggambaran tentang minuman keras). Ia menggambarkan tentang kelezatan dan keburukan khamar, cara memerasnya, mengolahnya, hingga warna, aroma kelezatan rasa, dan kehidupan para peminumnya. Menurutnya, khamar dapat menenangkan hatinya yang gundah.
Dr Muhammad al-Nuwaihi dalam kitabnya Nafsiyyat Abi Nuwas menyebutkan Abu Nawas sangat tergantung pada minuman keras. Tingkah lakunya itu sungguh aneh. Maka, banyak orang yang mengatakan puisi-puisinya merupakan refleksi dari tingkah lakunya.
Tampaknya, Abu Nawas muda mewakili sisi lain dari kehidupan di zamannya. Tingkah lakunya yang berseberangan dengan ajaran agama, menunjukkan ada kehidupan sosial lain yang tidak tercatat dalam buku-buku sejarah. Zaman kegemilangan Islam era Dinasti Abbasiyah yang dikenal maju dalam ilmu pengetahuan dan ilmu-ilmu agama, juga diwarnai dengan kehidupan gelap. Di sini, Abu Nawas secara jujur dan apa adanya mengungkapkan sisi gelap itu.
Apakah puisi-puisi Abu Nawas muda menyesatkan? Bagi sebagian orang mungkin ya, tetapi bagi sebagian yang lain ternyata tidak. Adonis, contohnya. Penyair asal Suriah yang bernama asli Ali Ahmad Said ini mengungkapkan tidak ada puisi Arab yang menyesatkan.
''Berkali-kali membaca puisi Arab, saya tidak melihat ada kesesatan. Sebaliknya, puisi memberi kebenaran mendalam. Ada keharmonisan hubungan antara kata-kata dan benda, antara manusia dan alam. Puisi membuka cakrawala manusia tanpa batas,'' katanya.
''Penyair harus punya sesuatu yang bergolak dalam dirinya. Untuk menulis puisi, manusia harus hidup di dalam puisi. Ungkapan seorang penyair amat berbeda dengan cara pemikir, filsuf, alim ulama, atau ahli agama. Saat melihat jendela, seorang pemikir berkata jendela ini persegi panjang. Tapi, penyair bisa bilang jendela adalah perempuan yang membentangkan kedua tangannya,'' tambahnya.
Adonis juga mengutarakan bahwa senjata penyair adalah kebebasan. Orang yang tidak dapat lepas dari kungkungan eksternal ataupun internal, tidak akan mungkin menjadi penyair. Selama orang segan menyatakan apa yang ada dalam dirinya, ia tidak akan dapat berpuisi. Ia mencontohkan, seksualitas yang mungkin tidak bisa diutarakan oleh orang yang taat beragama, karena hal itu baginya tabu untuk diungkapkan.
Abu Nawas tidak segan-segan mempuisikan apa yang ia lakukan dan rasakan. Karena itu, tudingan-tudingan seperti penyair zindik atau pendosa besar sering dialamatkan kepadanya. Apa yang dikatakan oleh Adonis bahwa senjata seorang penyair adalah kebebasan, menjadikan Abu Nawas tampak melampaui batas kesopanan dan merendahkan ajaran agama.
Hilangnya aroma Tuak
Tak pernah ada kata terlambat untuk bertobat. Itulah salah satu pelajaran penting yang diajarkan Abu Nawas. Masa mudanya memang diwarnai dengan gaya hidup penuh maksiat. Namun, di masa tuanya, sang penyair berubah menjadi seorang sufi. Penyesalan dan pertobatannya dia ungkapkan lewat puisi-puisinya yang bertema zuhdiyat (kehidupan zuhud). Seorang sahabatnya, Abu Hifan bin Yusuf bin Dayah, memberi kesaksian, di akhir hayat Abu Nawas mengisi kehidupannya dengan ibadah.
Apa gerangan yang membuat Abu Nawas bertobat? Ada yang berpendapat karena dia dijebloskan ke dalam penjara oleh Khalifah al-Ma'mun, setelah menikmati masa kejayaan bersama Khalifah Harun al-Rashid dan Khalifah al-Amin. Al-Ma'mun tidak bisa memberikan toleransi pada karya-karya Abu Nawas yang vulgar, mengumbar kesenangan dan nafsu seksual.
Sejak ia dipenjarakan, puisi-puisinya berubah menjadi religius. Kenakalan dan aroma kendi tuak dalam puisinya yang khas meluntur, seiring dengan kepasrahannya kepada kekuasaan Allah. Puisi-puisi tuaknya digantikan dengan puisi pertobatan kepada Yang Mahakuasa.
Pada masa ini, puisi dan syair yang ditulisnya terdiri atas beberapa tema. Ada yang bertema pujian (madah), sati re (hija’), zuhud (zuhdiyat), bahaya minum khamar (khumriyat), cinta (hazaliyat), serta kejenakaan (mujuniyah). Syairsyair religiusnya dikenal dan dibaca di seantero jagad Islam. Dari masjid-masjid dan surausurau di Nusantara. Salah satu syair zuhdiyat Abu Nawas terus berkumandang:
Ilahi, lastu lilfirdausi ahla. Wala aqwa ‘ala naril jahimi Fahab li tawbatan waghfir dzunubi. Fainnaka ghafirud Zanbil azimi. (Tuhanku, hamba tidaklah pantas menjadi penghuni surga. Namun, hamba juga tidak kuat akan panas api neraka. Maka, berilah hamba ampunan atas dosa-dosa hamba. Karena sesungguhnya Engkau Maha Pengampun lagi Mahaagung) Puisi pertobatan itu diakhiri dengan kata-kata, ‘’Jika Engkau meng ampuni dosa-dosaku, sung guh Engkau adalah Zat Yang Ma ha pengampun. Tetapi, jika Eng kau menolaknya, lantas kepada siapa aku harus mengadu.’’ rid/berbagai sumber
Dari Istana ke Penjara
Abu Nawas dipandang oleh kalangan penyair modern sebagai penyair Arab klasik terbesar. Sederet nama sastrawan beken semacam Omar Kayam dan Hafiz—dua sastrawan Islam kondang—diketahui banyak mendapat pengaruh dari Abu Nawas.
Tak mengherankan jika puisi-puisi penyair nyentrik ini kemudian diterjemahkan ke dalam banyak bahasa dan tersebar di berbagai belahan dunia. Salah satu karyanya dialihbaha sakan ke dalam bahasa Inggris berjudul O Tribe That Loves Boysoleh Hakim Bey dan diterbitkan Entimos Press pada 1993.
Jaafar Abu Tarab juga menerjemahkan karya Abu Nawas berjudul Carousing With Gazelles. Jim Colville menerjemahkan Poems of Wine and Revelry: The Khamriyyat of Abu Nuwas. Di mata para sastrawan Barat, Abu Nawas tampak begitu istimewa. Philip F Kennedy, misalnya, secara khusus menulis The Wine Song in Classical Arabic Poetry: Abu Nuwas and the Literary Tradition, yang diterbitkan Open University Press tahun 1997. Pada 2005, Penerbit OneWorld Press menerbitkan buku karya Philip Kennedy berjudul Abu Nuwas: A Genius of Poetry.
Dalam kitab Al-Wasith fil Adabil Arabi wa Tarikhihi, Abu Nawas digambarkan sebagai penyair multivisi, jenaka, berlidah tajam, pengkhayal ulung, dan tokoh terkemuka sastrawan angkatan baru. Namun, di Indonesia ia lebih dikenal sebagai orang aneh yang bertingkah lucu dan konyol.
Keistimewaan Abu Nawas tidak lahir begitu saja, tetapi terasah sejak dirinya masih belia. Ia diperkirakan lahir antara tahun 747 hingga 762 M. Ada yang memastikan, ia lahir pada 738 M di Ahwaz, Persia. Ayahnya seorang Arab bernama Hani, anggota tentara Marwan bin Muhammad atau Marwan II, khalifah terakhir Dinasti Umayyah di Damaskus. Sementara ibunya, dari Persia bernama Golban atau Jelleban, yang kesehariannya bekerja sebagai penenun.
Konon, sejak lahir hingga tutup usia, Abu Nawas tak pernah bertemu dengan sang ayah. Kemiskinan memaksa ibunya menjual Abu Nawas kecil kepada seorang penjaga toko dari Yaman bernama Sa’ad Al-Yashira. Abu Nawas muda bekerja di toko grosir milik tuannya di Basrah, Irak. Sejak remaja, otak Abu Nawas terkenal encer. Ini menarik perhatian Walibah ibnu Al-Hubab, seorang penulis puisi berambut pirang. Al-Hubab pun memutuskan untuk membeli dan membebaskan Abu Nawas dari tuannya.
Al-Hubab mendidiknya dalam disiplin teologi, tata bahasa Arab, dan puisi. Sejak itulah, Abu Nawas begitu tertarik dengan dunia sastra. Ia kemudian menimba ilmu dari Khalaf Al-Ahmar di Kufah. Sang guru memerintahkannya untuk berdiam di padang pasir bersama orang-orang badui, untuk mendalami dan memperhalus pengetahuan bahasa Arabnya selama satu tahun. Setelah itu, dia hijrah ke Baghdad yang merupakan kota metropolitan era kejayaan Islam di bawah Khalifah Harun Al-Rasyid.
Karier Abu Nawas di dunia sastra makin menanjak setelah kepandaiannya menulis puisi menarik perhatian Khalifah Harun Al-Rasyid. Melalui perantara musikus istana, Ishaq al-Wawsuli, Abu Nawas akhirnya diganjar predikat sebagai sya’irul bilad(penyair negeri). Puncak kariernya terjadi pada masa khalifah Al-Amin. Kebanyakan karya Abu Nawas lahir pada periode ini. Akan tetapi, hampir semua puisinya berorientasi pada pemujaan terhadap Khalifah.
Kemesraan Abu Nawas dengan pihak kerajaan tidak selamanya mulus. Setelah Al-Amin mangkat dan digantikan oleh Al-Ma’mun, Abu Nawas berada dalam masalah besar.
Al-Ma’mun tidak bisa memberikan toleransi kepada Abu Nawas yang gemar membuat puisi erotis, jorok, bahkan melawan ajaran agama. Al-Ma’mun menjebloskan Abu Nawas ke penjara. Pendapat lain menyatakan dipenjarakannya Abu Nawas karena ia menghina Ali bin Abi Thalib.
Namun justru penjara menjadi tempat tumbuhnya gairah spiritual Abu Nawas. Ia berubah menjadi seorang sufi. Menurut Zonbor, sekretaris Sultan, Abu Nawas hanya berpura-pura tobat karena mengharapkan ampunan dari Sultan. Diperkirakan, Abu Nawas menghabiskan hidupnya di dalam penjara. rid/berbagai sumber