GIAT SAAT FAKIR
>> 18 Juli 2009
Kefakiran harta sering diidentikkan dengan kehinaan. Karakter rendah diri, merasa tak berdaya, hingga menghinakan diri sendiri, sering menjangkiti mereka yang dilanda kefakiran. Akumulasi karakter itu akan mengempaskan pada jurang keputusasaan. Kegairahan untuk bangkit dan berjuang pun hilang. Langkah nyata menghindarkan diri dari keterpurukan pun tak akan kembali muncul.
Kegairahan hidup harus terpelihara, walau di tengah kefakiran. Kefakiran mesti menjadi daya pengungkit bagi tercapainya kehidupan yang lebih baik. Perasaan hina karena kefakiran harus ditumbangkan, karena sangat tidak beralasan.Islam pun tidak mengenal perspektif demikian. Karena kehinaan bukan milik si fakir, tapi mereka yang tidak beriman dan tak menaati Allah SWT.
''Tidakkah mereka (orang-orang munafik itu) mengetahui bahwasanya barang siapa menentang Allah dan Rasul-Nya, maka sesungguhnya neraka Jahanamlah baginya, dia kekal di dalamnya. Itu adalah kehinaan yang besar.'' (QS Attaubah [9]: 63).Untuk menjaga kegairahan hidup, Islam memandang bahwa mereka yang fakir sebagai makhluk yang dicintai Allah SWT. Kefakiran bukanlah azab yang dilaknat, tapi ujian yang dapat mendatangkan kebaikan.
Seperti sabda Rasulullah SAW, ''Sesungguhnya makhluk yang paling dicintai oleh Allah adalah orang-orang yang fakir, karena makhluk yang paling dicintai Allah adalah para Nabi, maka Allah menguji mereka dengan kefakiran.''Rasulullah SAW pun bermunajat agar dimatikan bersama orang fakir. Seperti yang diriwayatkan dari Abu Said al-Khudri, ''Ya Allah, matikanlah aku sebagai orang yang fakir dan jangan matikan aku sebagai orang kaya. Kumpulkanlah aku nanti pada hari kiamat dalam rombongan orang-orang miskin.''
Sabda Rasulullah SAW itu bukan meninabobokan agar nyaman bersama kefakiran. Lalu, lari dari hidup yang berkecukupan. Namun, untuk mengembalikan harga diri dan kepercayaan diri, di tengah penghinaan dan pengucilan manusia yang menilai kemuliaan dari keberlimpahan harta.
Janji Allah SWT dan Rasulullah SAW yang selalu bersamanya, mencintainya, dan membelanya, hendaknya menjadi pemulih optimisme dalam mengarungi kefakiran.Ini juga menjadi modal untuk menggiatkan kemauan berusaha, bekerja lebih keras, juga kreatif. Seperti giatnya sahabat yang fakir di masa Rasulullah SAW saat berkompetisi dengan sahabat yang berharta dalam mengisi kehidupan, dengan karya-karya sesuai kemampuan mereka.
Tetap produktif, berkontribusi, dan tak membebani orang lain telah menjadi karakter mereka. Kefakiran bukanlah penghambat, tapi penyemangat untuk berebut kebaikan dan pahala di tengah keterbatasan. Karena di tengah keterbatasanlah, segalanya lebih dilipatgandakan oleh Allah Yang Mahakaya.